Jejak Sikap Suhartoyo di Putusan MK, Pilpres 2019 hingga Cipta Kerja
Rapat Pleno Hakim Mahkamah Konstitusi yang digelar Kamis (9/11) menyepakati pemilihan hakim Suhartoyo menjadi Ketua MK. Suhartoyo akan menggantikan posisi Anwar Usman yang dicopot dari jabatan ketua atas pelanggaran etik berat dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang perubahan syarat usia calon presiden dan wakil presiden.
Suhartoyo terpilih melalui musyawarah mufakat. Dalam pemilihan yang digelar secara tertutup untuk publik nama Suhartoyo muncul sebagai hakim yang bersedia menjadi ketua bersama Saldi Isra. Keduanya kemudian berembug hingga disepakati Suhartoyo menjadi ketua dan Saldi tetap menjadi wakil ketua MK.
Sebelum berkarier di MK pada 2015 Suhartoyo merupakan hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar. Ia menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi yang purna tugas pada 7 Januari 2015. Ia mengucap sumpah di hadapan Presiden Joko Widodo pada 17 Januari 2015.
Pria kelahiran Sleman itu pertama kali bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung. Ia kemudian dipercaya menjadi hakim Pengadilan Negeri di beberapa kota hingga tahun 2011, beberapa di antaranya yakni Hakim PN Curup (1989), Hakim PN Metro (1995), Hakim PN Tangerang (2001), Hakim PN Bekasi (2006) sebelum akhirnya menjabat sebagai Hakim pada Pengadilan Tinggi Denpasar.
Dalam kariernya ia juga pernah menjadi Wakil ketua PN Kotabumi (1999), Ketua PN Praya (2004), Wakil Ketua PN Pontianak (2009), Ketua PN Pontianak (2010), Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011), serta Ketua PN Jakarta Selatan (2011).
Ia meraih gelar sarjana dari Universitas Islam Indonesia pada 1983. Kemudian meraih gelar magister di Universitas Taruma Negara pada 2003 dan meraih doktor di Universitas Jayabaya pada 2014.
Lalu bagaimana rekam jejak Suhartoyo selama menjadi hakim MK?
Sejak bertugas di MK pada 2015, ia sudah terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan penting. Lima perkara yang cukup menyita perhatian adalah soal putusan tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden, soal uji materi Undang-undang omnibus law cipta kerja, uji materi UU perkawinan dan soal uji materi UU KUHP. Pada 2019, Ia juga turut menyidangkan perkara sengketa hasil pemilu.
Berikut rangkuman sikap yang ditunjukkan Suhartoyo dalam 5 perkara kontroversial yang diputus di MK
Sikap Suhartoyo di Uji Materi UU Cipta Kerja
Selama menjadi hakim konstitusi, beberapa perkara yang sempat ia ikut tangani seperti judicial review UU Cipta Kerja yang bergulir pada pertengahan 2020. Suhartoyo kala itu sepakat dengan suara mayoritas yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Aswanto, dan Wahiduddin Adams yang mana menyatakan UU Cipta Kerja tak memenuhi syarat formil, sehingga dibekukan dan harus diperbaiki selama dua tahun.
Pada pertimbangan hukum MK yang dibacakan oleh Suhartoyo, tata cara pembentukan UU Cipta Kerja disebut tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang.
“(Pembentukan UU Cipta Kerja) bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, maka Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil,” kata Suhartoyo.
Kala itu, mahkamah menjelaskan alasan UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat lantaran mahkamah hendak menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan. Lalu, harus mempertimbangkan tujuan strategis dibentuknya UU Cipta Kerja.
“Oleh karena itu, dalam memberlakukan UU 11/2020 yang telah dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat menimbulkan konsekuensi yuridis terhadap keberlakuan UU 11/2020 a quo, sehingga Mahkamah memberikan kesempatan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki UU 11/2020 berdasarkan tata cara pembentukan undang-undang yang memenuhi cara dan metode yang pasti, baku dan standar di dalam membentuk undang-undang omnibus law yang juga harus tunduk dengan keterpenuhan syarat asas-asas pembentukan undang-undang yang telah ditentukan,” kata Suhartoyo.
Selain itu, Suhartoyo juga sempat meminta penjelasan mengenai salah ketik yang terdapat dalam UU Cipta Kerja. Dalam sidang JC UU Cipta Kerja Suhartoyo meminta ahli dari Presiden Ahmad Redi untuk menerangkan salah ketik yang terdapat tersebut.
Selain itu, pada kesempatan yang sama, Suhartoyo pun mempertanyakan kesiapan pemerintah dalam pembentukan UU Cipta Kerja, pasalnya model omnibus law tak dikenal di Indonesia.
"Soal kesiapan infrastruktur UU Cipta Kerja dan bagaimana membedah ekstensifikasi. Saya tahu ekstensifikasi itu kalau di pertanian sana. Nah apakah itu kemudian sebenarnya anda ingin menjawab bahwa UU 12/2020 belum siap? Untuk mengakomodir berkaitan dengan pembentukan UU yang berjenis omnibus law?" kata Suhartoyo.
Pendapat Berbeda Suhartoyo di Uji Formil UU Cipta Kerja
Pada 30 Desember 2022 presiden Jokowi mengeluarkan Perppu Cipta Kerja tanpa didahului dengan revisi UU Cipta Kerja sebagaimana diamanat MK. Perppu itu kemudian bergulir dan disahkan DPR namun setelah melewati satu masa sidang. Pengesahan Perppu menjadi Undang-Undang pada 21 Maret 2023 mendapat penolakan berbagai pihak hingga digugat ke MK.
Uji formil UU No 6/2023 diajukan lantaran para pemohon menilai proses penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi UU tidak sesuai dengan Pasal 22 Ayat (2) UUD 1945 yang mengatur, persetujuan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diberikan pada masa persidangan berikutnya. Presiden menerbitkan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 dan mengajukannya kepada DPR pada 9 Januari 2023 atau pada Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023. Namun, DPR baru menyetujui RUU Penetapan Perppu Cipta Kerja menjadi UU pada 21 Maret 2023, bertepatan dengan Masa Persidangan IV 2022-2023.
Pada 2 Oktober 2023 saat MK memutus menolak 5 perkara uji formil UU Cipta Kerja. MK menetapkan bahwa UU Cipta Kerja sudah konstitusional. Namun, Suhartoyo bersama tiga hakim lainnya yaitu Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih menyatakan beda pendapat atau dissenting opinion.
Sikap Suhartoyo di Gugatan Usia Minimal Capres-cawapres
Suhartoyo merupakan salah satu hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait putusan permohonan bernomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden yang dikabulkan sebagian. Suhartoyo menyatakan, permohonan yang diajukan mahasiswa Solo, Almas Tsaqibirru, tersebut tak memiliki kedudukan hukum (legal standing).
Selain Suhartoyo, dalam perkara nomor 90 itu tiga hakim lain pun menyatakan dissenting opinion, mereka yakni Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Wahiduddin Adams. Ia konsisten mengatakan bahwa perkara batasan usia capres yang digugat pemohon dalam pasal 169 huruf q Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 merupakan wilayah pembuatan Undang-undang.
Sikap di Perkara Uji Materiil KUHP
Pada uji materi Undang Undang tentang KUHP, MK memutuskan tak dapat menerima permohonan pengujian ketentuan Pasal 433 ayat (3), Pasal 434 ayat (2), dan Pasal 509 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang diajukan advokat bernama Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.
Suhartoyo yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah terkait Putusan Nomor 1/PUU-XXI/2023 mengatakan KUHP baru mulai berlaku tiga tahun sejak tanggal diundangkan. Sehingga, pemberlakuan demikian berakibat hukum undang-undang yang diujikan pada perkara ini belum memiliki kekuatan hukum mengikat. Sehingga, kerugian konstitusional yang didalilkan para pemohon tidak terpenuhi sebagai syarat-syarat anggapan kerugian konstitusional sebagaimana dimaksudkan dalam Putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007.
Posisi Suhartoyo Saat Sidang Sengketa Pilpres 2019
Suhartoyo juga merupakan salah satu hakim konstitusi yang ikut memutus dalam sidang sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2019 (PHPU Presiden dan Wakil Presiden 2019). Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 itu dimohonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden kala itu yang bernomor urut 02, yakni Prabowo Subianto dan Sandiaga Salahuddin Uno.
Dalam perkara tersebut, Suhartoyo sempat meminta para pihak yang bersengketa tak memaksa hakim membuat keputusan. "Mahkamah secara bijaksana, cermat, saksama, berdasarkan argumentasi bangunan pertimbangan hukum yang bisa dipertanggungjawabkan, tidak perlu mempersoalkan yang seperti ini," kata Suhartoyo dalam sidang.
Suhartoyo Setuju Uji Materi UU Perkawinan
Dalam perjalanan kariernya, Suhartoyo juga pernah turut mengadili Uji materi UU Perkawinan tentang perkawinan beda agama. Saat itu ia menjadi hakim yang menolak gugatan dengan mengajukan concurring opinion.
Suhartoyo beranggapan negara tidak harus menutup mata tentang fenomena perkawinan beda agama. Menurut dia meski dianggap illegal dalam UU Perkawinan, hal tersebut sudah banyak terjadi di masyarakat.
Saat itu Suhartoyo berharap pemerintah bersama DPR merevisi UU Perkawinan dan mengakomodasi fenomena perkawinan beda agama. Menurut dia negara perlu hadir karena fenomena itu sudah banyak terjadi. Apalagi menurut dia urusan negara dalam persoalan pernikahan adalah berkaitan dengan pencatatan administrasi.