Akademisi Sebut Hak Angket Bukan Tabu, Pernah Bergulir di Pemilu 2009
Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan hak angket bukanlah hal tabu dalam bernegara. Hak yang dimiliki parlemen ini bahkan sudah pernah digunakan saat Pemilu 2009 lalu.
Titi menjelaskan saat itu DPR melayangkan Hak Angket karena banyak warga tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap. Tercatat ada 22 anggota dewan dari enam fraksi yang mengajukan hak angket. Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan putusan beberapa hari sebelum pemungutan suara.
“Kalau untuk itu ada hak angket, mengapa sekarang dipertanyakan? Justru itu membuat segalanya menjadi terang benderang,” kata Titi dalam diskusi bertajuk Kecurangan Pemilu dari Perspektif Konstitusi dan Hukum Administrasi Negara di Kantor ICW, Kamis (22/2).
Lebih lanjut Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Idul Risham, menjelaskan bila KPU dan Bawaslu tidak bisa diharapkan untuk penegakan kecurangan hasil Pemilu, maka Mahkamah Konstitusi harus turun tangan. Merujuk putusan MK dalam sengketa hasil Pemilu dan Pilkada, bisa ada permohonan diskualifikasi.
Idul menyebut ada yurisprudensi atau dasar hukum untuk mendiskualifikasi salah seorang paslon. Hal ini sebelumnya sudah pernah terjadi pada Pilkada Kabupaten Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, 2020 lalu. Saat itu, bupati terpilih Orient Riwu Kore terbukti adalah Warga Negara Amerika Serikat.
“Itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Setelah pertimbangan MK, membatalkan hasil Pilkada dan mendiskualifikasi salah satu paslon,” kata Idul.