Artjog hingga Layang-layang, Bagaimana Dampak Festival di Yogyakarta?
Laut, bagi Faelerie, merupakan ruang perjalanan yang panjang. Seperti puisi Sanento Juliman (1967) yang menjadi inspirasi karya seninya, laut tak ubahnya jiwa manusia: tak pernah tidur, membentang, dan bersusun dengan gelap. Laut menampung banyak kaki menyusuri banyak peristiwa kelam.
Faelerie merespons puisi berjudul Laut tersebut dengan simpul rajutan—senjatanya dalam berkarya. Dia menciptakan lebih dari dua ratus pasang kaki mungil yang kosong tanpa badan dan kepala. Setiap pasang terdiri atas satu hingga empat kaki. Kaki-kaki itu tersebar tak berpola di sudut instalasi seni Artjog di Jogja National Museum pada 2023 dengan judul Langkah-Langkah.
"Ya, perjalanan manusia. Riuh tetapi kosong," kata Faelerie dalam wawancara daring di kanal YouTube kurator seni Kuss Indarto, 3 Juli 2023.
Faelerie termasuk satu dari 73 seniman yang memamerkan kreasinya dalam Artjog 2023 bertema Motif: Lamaran pada 30 Juni-27 Agustus 2023. Adapun rincian seniman dalam agenda yang turut didukung pembiayaan Dana Indonesia ini, yakni 51 seniman dewasa dan 22 seniman anak-anak.
(Baca juga: Dana Indonesiana Jembatani Pelaku Budaya Berkarya)
Artjog, acap diistilahkan "Hari Raya Seni", mendapat perhatian luas selama 15 tahun penyelenggaraannya. Ikhtiar Artjog untuk mendekatkan seni memang tak hanya pada proses kurasi karya seniman, tetapi juga melibatkan pengalaman pengunjung.
Hal tersebut terlihat dari sejumlah instalasi menarik yang bisa digunakan atau dimainkan pengunjung. "Walaupun pengunjung bisa jadi tidak memahami apa itu seni, tetapi setidaknya kami merasa dilibatkan," kata Kiky, pengunjung, dalam wawancara di kanal YouTube ARTJOG, 29 Mei 2023.
Studi dampak Artjog 2008-2022 yang didukung Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) pun menunjukkan, pengunjung Artjog kerap tembus di atas 70 ribu orang sejak 2017. Bahkan pada 2019 sempat membuncah hingga 125 ribu pengunjung. Pengunjung Artjog melesu hanya saat pembatasan aktivitas akibat pandemi Covid-19 pada 2020-2021.
Dari jumlah tersebut, mayoritas pengunjung berasal dari dalam negeri atau domestik sebesar 325 ribu pengunjung. Sementara pengunjung mancanegara sebanyak 65 ribu pengunjung.
Pengunjung terbanyak berasal dari kelompok usia 25-45 tahun sebanyak 33% dari total pengunjung. Selanjutnya 19-24 tahun sebanyak 20%; 46-55 tahun sebanyak 16%; 13-18 tahun mencapai 13%; 6-12 tahun sebesar 11%; dan di atas 55 tahun hanya 7%.
Riset yang dilakukan Ike Janita Dewi dan Tri Subagya itu juga mengkalkulasikan, rata-rata lama tinggal pengunjung Artjog dari luar Yogyakarta selama 4,08 hari, naik dari rata-rata tinggal wisatawan 2,01 hari. Rerata pengeluarannya pun bisa mencapai Rp9,52 juta, bertumbuh 3-4 kali lipat dari biasanya.
Artjog menggerakkan sendi-sendi ekonomi Yogyakarta. Yudi, pedagang pigura, mengaku terciprat untung berkali lipat akibat perhelatan tersebut. Ini pun dirasakan oleh pedagang lainnya.
"Lantaran rentetan [acaranya] banyak, bisa lebih dari 20 pameran. Rumah saja bisa disulap menjadi tempat pamer," kata Yudi dalam tayangan wawancara yang sama.
Di level provinsi, riset Ika dan Tri juga menyinggung bahwa penyelenggaraan Artjog berkontribusi sebesar Rp3,4 triliun atau 2,28% dari produk domestik regional bruto (PDRB) Yogyakarta pada 2021.
”Ternyata dampaknya besar sekali. Mudah-mudahan ini memotivasi karena kami membuat semacam gerakan yang bisa memutar roda perekonomian di ekosistem seni budaya,” kata Heri Pemad, pendiri Artjog kepada Harian Kompas, 30 Juni 2023.
(Baca juga: Merawat Ekosistem Kebudayaan untuk Ekonomi Nasional)
Tak berhenti di Artjog, gelaran festival lainnya seperti Jogja International Kite Festival (JIKF) pun menyumbang cuan ke Yogyakarta. Festival layang-layang ini berlangsung di Pantai Parangkusumo, Bantul, selama 15-16 Juli 2023.
Tercatat, jumlah kunjungan wisatawan ke Bantul selama periode tersebut mencapai 39.152 orang dan sebanyak 26.874 wisatawan berkunjung ke kawasan Pantai Parangtritis.
Dinas Pariwisata Bantul melaporkan, banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Bantul pada pekan JIKF 2023 memberikan dampak ekonomi berupa penerimaan pendapatan asli daerah (PAD) terhadap pariwisata Bantul sebesar Rp568,8 juta.
Festival tahunan ini turut diikuti oleh sembilan peserta dari luar negeri, yakni Amerika Serikat, Jepang, Swiss, China, Taiwan, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Korea Selatan.
“Harapannya [JIKF] ini dapat menggairahkan dan mempromosikan pariwisata, terutama yang ada di kawasan pantai selatan DIY,” kata Plh. Kepala Dinas Pariwisata DIY Kurniawan, dilansir dari Antara, Senin (17/6/2023).
Rupanya, sebagian besar warga Yogyakarta merasa diuntungkan dari gelaran sejumlah festival di wilayahnya. Hal ini terekam dalam survei rumah tangga yang digelar Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) pada 2019 dalam laporan Analisis Dampak Penyelenggaraan Festival di Yogyakarta.
Dari 15 festival yang dianalisis, Cellsbutton Yogyakarta New Media Art Fest dinilai sebagai festival yang paling menguntungkan, persentasenya mencapai 100% dari total responden. Keuntungannya berupa hiburan dan pengetahuan tentang budaya yang dirasakan oleh pengunjung.
Berikutnya, Festival Layang-Layang Internasional (JIKF) yang dianggap menguntungkan oleh 64% responden. Sementara 36% responden tidak terpengaruh dengan gelaran festival tersebut. Kemudian pelaksanaan Artjog menguntungkan bagi 55% responden dan 45% menilai tidak terpengaruh.
Survei ini juga menemukan, mayoritas atau 91% responden yang mengunjungi festival-festival tersebut tertarik untuk mengunjungi festival serupa.
Pengeluaran per Kapita Pengunjung Lokal dan Nonlokal per Kunjungan di 12 Festival Yogyakarta
Nama festival | Lokal | Nonlokal |
Artjog | Rp125.288 | Rp1.158.692 |
Kustomfest | Rp253.581 | Rp1.196.218 |
Ngayogjazz | Rp118.446 | Rp955.726 |
Asia Tri | Rp200.000 | Rp955.726 |
Bedog Arts Festival | Rp115.625 | Rp211.857 |
Biennale Jogja | Rp84.810 | Rp955.726 |
Festival Film Dokumenter | Rp118.446 | Rp955.726 |
Festival Musik Tembi | Rp150.000 | Rp586.891 |
Jogja Netpac Asia Film Festival | Rp160.000 | Rp1.196.218 |
Yogyakarta Gamelan Festival | Rp41.916 | Rp211.857 |
Festival Layang-Layang Internasional | Rp32.416 | Rp586.891 |
Pesta Boneka | Rp20.000 | Rp955.726 |
Survei yang sama juga mengungkap rata-rata pengeluaran pengunjung lokal untuk setiap kunjungannya terhadap 12 festival di Yogyakarta yang diteliti adalah sebesar Rp118,37 ribu. Sementara, rerata pengeluaran dari setiap pengunjung non-lokal atau luar Yogyakarta sebesar Rp827,27 ribu.
(Baca juga: Transformasi Museum dan Cagar Budaya Tak Sekadar Menjaga Artefak)
Pengeluaran pengunjung lokal paling besar pada Kustomfest. Ajang kustom motor tersebut memang dikenakan biaya Rp253 ribu per hari pada pelaksanaan 2023. Begitupun dari pengunjung non-lokal, pengeluaran terbesarnya melalui Kustomfest dan Jogja Netpac Asian Film Festival, masing-masing sekitar Rp1,96 juta per orang.
Sementara pengeluaran pengunjung terendah untuk Festival Layang-Layang Internasional, yaitu sekitar Rp32 ribu per orang. Lalu pengeluaran terendah pengunjung non-lokal untuk Bedog Arts Festival dan Yogyakarta Gamelan Festival, pengeluaran masing-masing sekitar Rp211,85 ribu per orang.
Kunjungan dan pengeluaran wisatawan di Yogyakarta nyatanya berpengaruh terhadap struktur ekonomi provinsi tersebut. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) DIY, Herum Fajarwati mengatakan sektor yang paling terdampak dari tingginya kunjungan wisatawan adalah penyediaan akomodasi dan makan minum.
Lapangan usaha penyedia akomodasi makan dan minum masuk tiga besar penyumbang tertinggi pada kuartal I-2024, yakni 10,41% dari total PDRB. Adapun sektor lapangan usaha pertama yakni industri pengolahan sebesar 12,07%, diikuti pertanian, kehutanan, dan perikanan 10,87%.
Satu sisi, pemerintah daerah setempat turut mendukung pelaksanaan festival budaya di Yogyakarta. Dinas Kebudayaan DIY telah menggelontorkan Rp335,40 miliar pada 2023 melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Taman Budaya, UPTD Museum Negeri Sonobudoyo, dan UPTD Balai Pengelolaan Kawasan Sumbu.
Dian Lakshmi Pratiwi, Kepala Dinas Kebudayaan DIY menyebut, penggunaan dana keistimewaan melalui acara kebudayaan mampu menciptakan dampak positif terhadap perekonomian masyarakat sekitar. Contohnya, pagelaran Pasar Kangen, Festival Kebudayaan Yogyakarta, dan Jogja Art Books.
“Agenda budaya tidak hanya sukses mempromosikan event budaya semata, tapi mampu berdampak menghidupkan perekonomian masyarakat setempat,” kata Dian pada laman resmi Pemprov DIY, Senin 18 Desember 2023.
(Baca juga: Bukan Profit, Investasi Budaya untuk Pembangunan Manusia)