Serikat Buruh: Fakta PHK Lebih Besar dari Data Resmi

Amelia Yesidora
2 Agustus 2024, 17:48
Massa yang tergabung dalam Aliansi IKM dan Pekerja Tekstil Indonesia membentangkan spanduk saat berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Jumat (5/7/2024).
ANTARA FOTO/Novrian Arbi/tom.
Massa yang tergabung dalam Aliansi IKM dan Pekerja Tekstil Indonesia membentangkan spanduk saat berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Jumat (5/7/2024).
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara atau KSPN mencatat pemutusan hubungan kerja (PHK) marak terjadi.  Presiden  KSPN, Ristadi, mengatakan tak semua PHK itu dilaporkan atau tercatat.

“Bila membandingkan data dengan fakta, lebih banyak fakta (yang terkena PHK),” kata Ristadi, lewat panggilan telepon pada Katadata, Jumat (2/8).

Ia menjelaskan sebenarnya banyak perusahaan tekstil, garmen, dan alas kaki, tidak melaporkan PHK kepada Dinas Ketenagakerjaan atau KSPN. Perusahaan ini sudah menyepakati jumlah pesangon dengan pekerja terkena PHK. Alhasil data yang KSPN pegang tidak sesuai dengan kenyataan.

Perusahaan biasanya melapor bila terjadi sengketa, terutama soal hak pesangon. Tujuannya agar pemerintah dan serikat bisa memfasilitasi negosiasi antara perusahaan dan pekerja.

KSPN mencatat 13.800 buruh dari industri tekstil se-Indonesia terkena PHK hingga semester satu 2024.  Kemudian sejak awal Juni hingga Juli 2024 terdapat empat perusahaan tekstil di Jawa Tengah yang melakukan PHK pada 750 orang karyawannya. Bahkan KSPN baru menerima laporan ada perusahaan tekstil di Jalan Mohammad Toha, Bandung, Jawa Barat, yang akan mem-PHK 500 orang pekerjanya.

Bila dibanding dengan data tahun lalu, menurut Ristadi angka ini sudah menurun. Puncak PHK tekstil terjadi pada 2021 hingga awal 2023, dan trennya mulai menurun hingga sekarang. Kendati demikian, Ristadi berkilah trennya terjadi karena karyawannya sudah berkurang.

“PT Alenatex misalnya, tadinya pekerja ada 2.500 orang. Pasca PHK Mei 2024, sisa 750 orang. Jadi kalau mau PHK lagi, angkanya turun karena sudah di-PHK sebelumnya,” kata Ristadi.

Ristadi mengatakan penyebab utama banyaknya PHK di industri ini adalah turunnya pesanan, bahkan tidak ada pesanan sama sekali. Produk buatan lokal kerap tidak laku di pasar domestik karena kini pasar dipenuhi barang tekstil impor yang lebih murah, entah itu legal atau ilegal.

“Artinya perusahaan tekstil bisa bertahan sekitar enam bulan sampai satu tahun, tapi cashflow berdarah-darah. Produksi terus-menerus tapi menumpuk di gudang,” katanya, “Kalau pemerintah terus melakukan impor seperti sekarang, maka lama-lama pabrik tekstil akan mati. Pelan-pelan akan mati, nggak kuat.”

Berdasarkan Satu Data Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 32.064 tenaga kerja terkena PHK dari periode Januari-Juni 2024. Jumlah tersebut naik 21,45% dari periode sama pada tahun lalu sebanyak 26.400 orang.

Dari jumlah itu, kasus PHK paling banyak terjadi di Jakarta yang mencapai 7.469 orang. Diikuti Banten sebanyak 6.135 orang, Jawa Barat 5.155 orang dan Jawa Tengah 4.275 orang.

"Tenaga kerja yang kena PHK paling banyak di Jakarta, sekitar 23,29% dari jumlah keseluruhan kasus yang dilaporakan," tulis laporan Portal Satu Data Kemnaker yang dipublikasikan, Kamis (25/7).

Reporter: Amelia Yesidora
Editor: Yuliawati

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...