Kelas Menengah Melemah, Konsolidasi Demokrasi Terhambat

Dini Hariyanti
Oleh Dini Hariyanti - Tim Publikasi Katadata
5 Desember 2024, 10:51
kelas menengah
AJPPF
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Kelas menengah Indonesia di dalam satu dekade terakhir semakin tidak independen dan terfragmentasi. Bahkan, sebagian pihak menilai, kelas menengah juga kian jauh dari fungsi penggerak utama demokratisasi di Indonesia.

Hal tersebut merupakan kesimpulan utama dari refleksi demokrasi Indonesia oleh Atma Jaya Institute of Public Policy menutup series Atma Jaya Public Policy Forum dengan sesi ketiga bertajuk Kelas Menengah dan Kebangkitan Demokrasi Indonesia. Acara ini berlangsung pada 3 Desember 2024.

Forum tersebut mengundang tiga panelis untuk berdiskusi seputar hubungan kelas menengah dengan demokrasi. Mulai dari tantangan yang dihadapi, gerakan yang mendorong agenda progresif, dan peran kelas menengah dalam demokrasi.

Data dari Fulcrum (2024) mengungkapkan, kelas menengah kini menghadapi berbagai masalah yang dirasa perlu menjadi prioritas pemimpin negara. Sebagian besar kelas menengah menganggap lapangan kerja, eradikasi korupsi, dan penegakan hukum menjadi masalah yang perlu diprioritaskan.

George Martin Sirait selaku dosen senior Program Magister Manajemen, Fakultas Bisnis dan Komunikasi, Unika Atma Jaya merekomendasikan peningkatan lapangan kerja yang berkualitas untuk menghasilkan kemandirian finansial, penguatan lembaga untuk memperkuat hak-hak masyarakat sipil, dan perbanyak intelektual publik. 

Melihat kondisi saat ini, rencana kenaikan pajak sebesar 12 persen dan fenomena deindustrialisasi menempatkan kelas menengah di dalam situasi yang semakin sulit secara sosial dan politik.

Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional/PRP-BRIN Wasisto Raharjo Jati membahas bahwa kelas menengah senantiasa dalam kondisi fluktuatif dalam demokratisasi di Indonesia. Kondisi ini menyesuaikan dengan dinamika sosial politik sebelum dan sesuai demokrasi.

Adanya ketimpangan ekonomi secara struktural membuat posisi kelas menengah berada dalam posisi dilema antara masih idealis atau pragmatis. Terlebih, posisi masyarakat sipil kini pada mengawal project daripada isu karena kecenderungan untuk mengikuti kepentingan donor, alih-alih berfokus kepada isu. 

Terjadinya pelemahan kekuatan masyarakat sipil semakin nyata ketika ruang gerak aktivisnya dibatasi dan mereka direkrut untuk mengisi posisi-posisi strategis dalam pemerintahan. Di atas semua ini, sosial media dapat dipergunakan sebagai ruang yang lebih luas bagi kelas menengah untuk berpartisipasi dalam berbagai gerakan sosial, seperti melalui kampanye tagar, petisi online, dan podcast.

Tentunya dengan batasan dalam penggunaannya untuk memastikan ruang berpendapat yang aman. Advokasi melalui media sosial saat ini telah kita lihat bukti konkritnya, salah satunya melalui hashtag #KawalPutusanMK yang ditrenkan masyarakat sipil pada saat DPR merevisi RUU Pilkada yang akan memberi ruang yang lebih leluasa bagi dinasti politik. 

Muhammad Fajar selaku Research Fellow, Institute for Advanced Research, Unika Atma Jaya melalui presentasinya yang berjudul Organisasi Gerakan Anak Muda Progresif Indonesia Pasca-Orde Baru, menyimpulkan bahwa saat ini, mobilisasi pemuda progresif dalam mewujudkan agenda transformatif masih terkendala keterbatasan dalam membangun jaringan dengan basis massa yang lebih luas. Selain itu diperlukan persepsi mengenai pemuda sebagai agen perubahan yang sebaiknya didasarkan pada kajian realitas yang objektif. 

Kelas menengah Indonesia membutuhkan konsolidasi, inovasi, dan kerja sama yang kuat untuk mewujudkan diri sebagai kekuatan penggerak utama dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Hal ini meliputi upaya menyatukan kembali kelompok yang terpecah dengan visi yang sama. Selain itu, penting untuk menciptakan ruang yang lebih aman dan inklusif bagi masyarakat sipil agar dapat beraktivitas secara bebas. Pemberdayaan pemuda progresif sebagai agen perubahan juga menjadi kunci, tentunya dengan pembekalan pemikiran kritis dan penguatan jaringan.

Pada era digital, pemanfaatan media sosial sebagai alat advokasi dan mobilisasi massa dapat dilakukan dengan bijak. Kelas menengah Indonesia memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan arah masa depan demokrasi negara. Tapi untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan upaya kolektif dari seluruh komponen masyarakat untuk mengatasi berbagai tantangan yang ada.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...