Susi Pudjiastuti Minta Protokol di Bandara Terpencil Lebih Longgar

Image title
2 Juni 2020, 13:38
CEO Susi Air, Susi Pudjiastuti menilai bandara lapis kedua atau secondary airport dan remote area tidak perlu protokol seketat Soekarno-Hatta.
Arief Kamaludin|KATADATA
CEO Susi Air, Susi Pudjiastuti menilai bandara lapis kedua atau secondary airport dan remote area tidak perlu protokol seketat Soekarno-Hatta.

Chief Executive Officer (CEO) Susi Air, Susi Pudjiastuti menilai, kebijakan terhadap industri penerbangan Indonesia semasa pandemi virus corona atau Covid-19 tidak efektif. Alasannya, kebijakan yang diterapkan di Jakarta disetarakan pada seluruh daerah.

Ia mencontohkan, keputusan penghentian penerbangan dari Jakarta ke Jayapura dihentikan, yang dinilai memang tepat. Namun, penerbangan dari Jayapura ke Wamena atau ke daerah-daerah pelosok lain juga ternyata ikut terhenti hingga saat ini.

"Harusnya penerbangan remote area tetap dibuka, meski rute kota besar tutup. Ini yang menurut saya perlu diperjelas, karena kalau tidak penerbangan Indonesia bisa shutdown," kata Susi, dalam seminar virtual atau webinar bertajuk 'Penyelamatan Industri Penerbangan dalam Situasi Krisis Covid-19', Selasa (2/6).

Penerbangan remote area menurutnya, memiliki karakteristik yang berbeda dengan rute kota besar. Perbedaan utamanya, penumpang di remote area adalah, orang yang memang perlu terbang. Selain itu, kapasitas jauh lebih kecil, maksimum 12 orang, dengan frekuensi tidak setiap hari.

Susi melanjutkan, ketika penerbangan di kota besar berhenti selama satu bulan, bandara di daerah pinggir harusnya dibuka, agar arus barang dan orang tidak ikut terhenti.

Memang, ini kebijakan pemerintah daerah, namun pemerintah pusat seharusnya turun tangan, dan membuka penerbangan di remote area yang masuk kategori necessary flight.

Saat ini penerbangan di Papua misalnya, frekuensinya sudah sangat jarang dan Garuda Indonesia sudah lama tidak terbang ke Jayapura atau Merauke lagi. Ia mengharapkan, pemerintah tidak menyamaratakan protokol karena tiap bandara punya karakteristik berbeda.

(Baca: Susi Pudjiastuti Minta Pemerintah Tak Sepelekan Bahaya Corona)

"Saya mengerti kompleksitas Soekarno-Hatta, sehingga perlu protokol ketat, dan itu sangat bagus karena mampu memproteksi bandara lapis kedua. Tapi, mestinya kan dari lapis kedua ke lapis ketiga perlakuannya berbeda, tidak bisa disamakan dengan protokol Soekarno-Hatta," ujarnya.

Perbedaan protokol ini perlu dilakukan agar, program pemerintah di daerah, serta kegiatan bisnis di daerah bisa terus berjalan. Proteksi harusnya berdasarkan risiko yang bisa diukur, khusus untuk secondary airport dan remote airport.

Perlakuan yang berbeda ini akan menjamin kegiatan ekonomi di daerah terpencil tidak ikut terhenti, dan maskapai yang melayani penerbangan ke daerah tersebut tidak ikut kesulitan.

Hal ini menurutnya penting, karena akan memberikan kepastian, dan kemudian akan diikuti dengan pulihnya rasa percaya para pengguna jasa penerbangan terhadap pemerintah.

Namun, jika antar instansi selalu ada perbedaan pendapat, diiringi dengan perubahan kebijakan, maka recovery industri penerbangan akan sulit dicapai dalam tempo singkat.

Penerbangan Indonesia juga membutuhkan guideline dari pemerintah, untuk memulihkan kepercayaan pasar. Saat ini, maskapai yang melayani remote area masih bingung, apakah harus terus, atau shutdown seluruh operasi.

"Soal insentif atau rencana soal normal baru dan lain-lain itu kebutuhannya berapa bisa kami hitung, tapi saat ini kami membutuhkan guideline yang jelas," kata Susi.

(Baca: Tertekan Corona, Maskapai Milik Susi Pudjiastuti Pangkas Gaji Karyawan)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...