Bisnis Ponsel Tertekan Sanksi AS, Pendapatan Huawei Turun ke Rp 340 T
Raksasa teknologi asal Tiongkok, Huawei mencatatkan penurunan pendapatan 16,5% secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal pertama tahun ini. Ini karena penjualan ponsel pintar alias smartphone anjlok.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, penghasilan Huawei 152,2 miliar yuan atau US$ 23,5 miliar (Rp 340 triliun) pada kuartal pertama 2021. "Ini menandai dua kuartal berturut-turut di mana pendapatan Huawei menurun," demikian dikutip dari CNBC Internasional, Rabu (28/4).
Namun, Huawei masih mencatatkan kenaikan margin laba bersih 3,8 poin menjadi 11,1%. Ini karena perusahaan memangkas biaya dan menerima faktor pendapatan US$ 600 juta dari pembayaran royalti.
Anjloknya pendapatnya Huawei sebagian besar disebabkan oleh bisnis konsumen, termasuk smartphone. Data Counterpoint menunjukkan bahwa pengiriman ponsel Huawei turun 41% yoy menjadi 33 juta pada kuartal IV 2020.
Jumlah tersebut di bawah Xiaomi (43 juta), OPPO (34 juta), dan Vivo (33 juta). "Jumlah pengiriman ponsel Huawei secara dramatis surut di sebagian besar pasar sebagai akibat dari sanksi AS," kata analis di Canalys Research Amber Liu laporan, dikutip dari CNBC Internasional, Januari lalu (28/1).
Bisnis ponsel Huawei anjlok karena sanksi dari Amerika Serikat (AS). Raksasa teknologi ini masuk daftar hitam (blacklist) terkait perdagangan AS sejak awal 2019.
Alhasil, produsen gadget itu tak bisa bekerja sama dengan perusahaan AS, termasuk Google. Perangkat Huawei pun tidak didukung sistem operasi (operating system/OS) Android maupun Google Mobile Services (GMS) seperti Gmail, YouTube, dan lainnya.
AS juga memblokir 152 afiliasi semikonduktor Huawei per Agustus 2020. Perusahaan pun terpaksa menyetop produksi cip (chipset), termasuk prosesor andalannya Kirin sejak September tahun lalu.
Hal itu mempersulit Huawei mendapatkan komponen untuk bisnis smartphone.
Selain itu, Huawei menjual merek smartphone Honor. Perusahaan pun kesulitan menyasar segmen konsumen kelas budget.
Belakangan, Huawei mengincar berbagai peluang lini bisnis lain. Perusahaan akan menginvestasikan US$ 1 miliar atau sekitar Rp 14,6 triliun untuk mengembangkan kendaraan tanpa pengemudi alias autonomous vehicle (AV) dan mobil listrik.
Raksasa teknologi itu bakal bersaing dengan Tesla, milik Elon Musk. "Kami akan menginvestasikan lebih dari US$ 1 miliar dalam pengembangan komponen mobil tahun ini," kata Rotating Chairman Huawei Eric Xu dikutip dari Bloomberg, dua pekan lalu (12/4).
Xu mengatakan, Huawei bakal bermitra dengan tiga produsen untuk membuat mobil listrik. Ketiganya yakni BAIC Group, Chongqing Changan Automobile Co. dan Guangzhou Automobile Group Co.
Meski begitu, perusahaan akan tetap membawa nama Huawei sebagai sub-merek sendiri. Logo korporasi pun kemungkinan besar bakal dipasang pada mobil, selayaknya komputer.
Sebelum kendaraan listrik, Huawei juga dikabarkan merambah bisnis peternakan babi, komputasi awan (cloud), dan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI). Awal tahun ini, presiden lini bisnis mesin Huawei Duan Aijun mengatakan bahwa Huawei akan memodernisasi peternakan dengan pengenalan wajah berbasis AI, guna mendeteksi penyakit dan melacak lokasi hewan ternak.
Teknologi Huawei juga dapat digunakan untuk memantau berat badan dan kesehatan babi. "Peternakan babi merupakan contoh lain bagaimana kami merevitalisasi beberapa industri tradisional dengan teknologi guna menciptakan nilai lebih di era 5G," kata juru bicara Huawei dikutip dari BBC Internasional, pada Februari (19/2).
Huawei mengatakan, pengembang teknologi pada peternakan babi potensinya besar. Sebab, separuh dari total babi yang diternak di dunia berada di Tiongkok.
Namun, Huawei akan bersaing dengan Alibaba dan JD.com yang lebih dulu bekerja sama dengan peternak babi di Tiongkok dalam menghadirkan teknologi baru.
Sedangkan, pada akhir tahun lalu, pendiri Huawei Ren Zhengfei mengatakan kepada para staf bahwa cloud akan menjadi prioritas perusahaaan pada 2021. Langkah itu bukan untuk menyaingi Alibaba, Microsoft maupun Amazon. Ini bertujuan mengurangi skala tekanan.
"Tidak mungkin bagi kami untuk mengikuti jalur yang sama seperti keduanya (Alibaba dan Amazon). Mereka memiliki akses atas uang tak terbatas di pasar saham AS," kata Ren dikutip dari South China Morning Post, Januari lalu (3/1).
Berdasarkan data Statista, Amazon menguasai sekitar 33% pada kuartal II 2020 dan stabil sejak 2017. Sedangkan Microsoft meraup 18%.
Meski begitu, Ren menyatakan bahwa perusahaan harus belajar dari kesuksesan Amazon dan Microsoft. Oleh karena itu, Huawei akan mencari peruntungan dengan mengamankan segmen dan industri besar sebagai klien cloud.
Huawei juga gencar mengembangkan teknologi AI. Pengembangan dilakukan mengacu pada keperluan umum berdasarkan standar industri. “Pengembangan sistem etika dan tata kelola seputar teknologi yang muncul harus dilakukan melalui proses yang penuh kesadaran,” ujar juru bicara Huawei akhir tahun lalu (14/12/2020).