CEO Ericsson: AS – Eropa Rugi Besar jika Cina Buat Standar 6G Sendiri
CEO Ericsson Börje Ekholm menilai, negara-negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa rugi jika Cina membuat standardisasi jaringan internet generasi keenam atau 6G sendiri. Pemerintah Tiongkok memang tengah mengembangkan 6G.
Ia menyampaikan, Cina akan membentuk ekosistem teknologi sendiri jika membuat standardisasi 6G. “Ekosistem Tiongkok akan menjadi pesaing tangguh bagi Barat,” kata dia dalam wawancara eksklusif dengan Light Reading dikutip dari Telecoms, Rabu (25/8).
Menurutnya Cina memiliki keunggulan dari sisi riset dan pengembangan (R&D) bidang teknologi telekomunikasi. “Meskipun investasi 5G kuat di AS, kurang jelas apakah ekosistem Barat akan mengikuti pengeluaran R&D yang besar di Asia, khususnya Cina,’ kata Ekholm.
Pemisahan ekosistem teknologi antara AS dan Cina pun tengah terjadi. AS melarang vendor telekomunikasi Tiongkok, seperti Huawei, di banyak pasar. Negeri Paman Sam juga membujuk Eropa melakukan hal serupa.
Hal itu berdampak juga ke Ericsson, yang pangsa pasarnya menurun di Cina. Ini karena Swedia memblokir jaringan 5G Huawei.
Meskipun di satu sisi, Ericsson bisa menggaet lebih banyak pasar di Eropa dan AS yang ditinggal oleh Huawei.
Di satu sisi, langkah AS dan Eropa memblokir perusahaan Tiongkok, dapat memacu Cina menggencarkan riset dan pengembangan di bidang teknologi. Ekholm menilai bahwa kondisi ini akan memecah standardisasi, kemudian ekosistem.
Penerima manfaat dari Belt and Road Initiative pun dapat mengadopsi standar yang dibuat oleh Cina tersebut. Belt and Road Initiative adalah program yang diperkenalkan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping pada 2013 dengan nama One Belt One Road (OBOR).
Itu merupakan rencana besar pemerintah Cina untuk menghidupkan kembali kejayaan Jalur Sutra (Silk Road) di abad ke-21. Strategi ini melibatkan investasi dan pembangunan infrastruktur besar-besaran di 152 negara yang tersebar di Eropa, Asia, Timur Tengah, Amerika Latin, dan Afrika.
“Saya kurang khawatir tentang Ericsson dalam skenario itu,” kata Ekholm. “Ericsson bisa bertahan dan dapat bekerja di sana. Tetapi apakah ekosistem teknologi di Barat akan cukup besar atau apakah kita akan menderita karena perkembangan teknologi dan perkembangan produktivitas? Itulah pertanyaan besarnya.”
Berdasarkan laporan Bain and Company bertajuk ‘Technology Report 2020’, eksekutif di perusahaan teknologi di dunia menyadari bahwa ekosistem teknologi AS dan Tiongkok mulai terpisah. Konflik ini berpotensi memaksa mereka untuk mengambil keputusan sulit terkait rantai pasokan, produk, pelanggan, karyawan, dan bahkan batasan organisasi ke depan.
“Saat langkah menuju pemisahan terus berlanjut, lebih banyak perusahaan teknologi akan meninjau kembali strategi bisnis di AS dan Cina,” demikian tertulis pada laporan Bain, yang dirilis Oktober tahun lalu (20/10/2020).
Bain menilai, mereka akan berusaha menyeimbangkan target bisnis di masing-masing negara, sekaligus mengalahkan pesaing. “Kompleksitasnya tinggi, tetapi hadiahnya yakni akses berkelanjutan ke pasar teknologi global yang besar,” demikian dikutip.
Hadiah yang dimaksud yakni pasar Cina, yang akan mulai terbatas untuk perusahaan AS. Cina berkontribusi 25% terhadap permintaan server, jaringan, laptop, dan ponsel pintar (smartphone) global.
Negeri Tembok Raksasa juga menjadi pasar yang besar bagi sektor teknologi lainnya, sepeti server, storage, dan jaringan. Ini terlihat pada Databoks di bawah ini:
Selain itu, pasar ponsel pintar, perangkat lunak (software), dan Infrastructur as a Services (IaaS) di Negeri Panda cukup besar. Besarannya dapat dilihat pada Databoks berikut: