Riset Bain: Konflik AS-Tiongkok Paksa Raksasa Teknologi Ubah Strategi
Ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dinilai mempercepat pemisahan ekosistem teknologi global. Tren ini diprediksi berlanjut, sehingga memaksa perusahaan di industri ini untuk mengubah strategi bisnisnya.
Berdasarkan laporan Bain and Company bertajuk ‘Technology Report 2020’, eksekutif di perusahaan teknologi di dunia menyadari bahwa ekosistem ekonomi AS dan Tiongkok mulai terpisah. Konflik ini berpotensi memaksa mereka untuk mengambil keputusan sulit terkait rantai pasokan, produk, pelanggan, karyawan, dan bahkan batasan organisasi ke depan.
“Saat langkah menuju pemisahan terus berlanjut, lebih banyak perusahaan teknologi akan meninjau kembali strategi bisnis di AS dan Tiongkok,” demikian tertulis pada laporan Bain, yang dirilis pada hari ini (20/10).
Bain menilai, mereka akan berusaha menyeimbangkan target bisnis di masing-masing negara, sekaligus mengalahkan pesaing. “Kompleksitasnya tinggi, tetapi hadiahnya yakni akses berkelanjutan ke pasar teknologi global yang besar,” demikian dikutip.
Hadiah yang dimaksud yakni pasar Cina, yang akan mulai terbatas untuk perusahaan AS. Negeri Panda berkontribusi 25% terhadap permintaan server, jaringan, laptop, dan ponsel pintar (smartphone) global.
Bagi Apple misalnya, konsumen Cina menyumbang US$ 44 miliar terhadap penjualan produk pada tahun lalu. Nilainya kurang dari seperlima pendapatan perusahaan di seluruh dunia.
Berdasarkan data Statista, penjualan iPhone tumbuh 20 kali lipat dalam lima tahun sejak Apple hadir di Tiongkok pada 2010. Pasar Negeri Panda menyumbang 25% dari total pendapatannya pada 2015, tetapi porsinya turun menjadi 17% pada tahun lalu.
Negeri Tembok Raksasa juga menjadi pasar yang besar bagi sektor teknologi lainnya, sepeti server, storage, dan jaringan. Ini terlihat pada Gambar di bawah ini:
Selain itu, pasar ponsel pintar, perangkat lunak (software), dan Infrastructur as a Services (IaaS) di Negeri Panda cukup besar. Besarannya dapat dilihat pada Gambar berikut:
Bain mencatat, konsumsi kembali sebagian besar produk teknologi di Tiongkok bahkan meningkat setidaknya dua kali lebih cepat dibanding rata-rata global. “Pasar domestik ini bukan hanya hadiah besar bagi perusahaan teknologi multinasional. Sektor teknologi yang tumbuh di dalamnya juga pasar yang sukses dan dinamis,” demikian tertulis.
Untuk pasar ponsel pintar misalnya, ada empat perusahaan teratas untuk skala global yakni Huawei, Oppo, Vivo dan Xiaomi. Huawei juga menjadi pemimpin pasar di bidang peralatan jaringan telekomunikasi.
Alibaba Cloud juga menjadi bisnis IaaS terbesar ketiga di dunia. Lalu aplikasi TikTok memiliki 800 juta pengguna aktif bulanan hanya dalam tiga tahun. Sebanyak 100 juta di antaranya di AS.
Bain mencatat, Tiongkok hanya tertinggal di beberapa bidang teknologi, terutama peralatan semikonduktor dan manufaktur. Kemudian, pada alat otomatisasi desain elektronik, unit pemroses sentral (CPUS), unit pemroses grafis (GPUS), susunan infrastruktur yang dapat diprogram di perangkat lunak.
Namun, AS tampaknya menyadari hal itu. Presiden AS Donald Trump menambahkan 38 afiliasi semikonduktor Huawei ke dalam daftar hitam pada Agustus lalu, sehingga totalnya menjadi 152.
Akibat kebijakan itu, perusahaan semakin sulit mendapatkan pasokan perangkat. “Sejak Agustus ini menjadi semakin sulit,” kata Wakil Presiden Huawei untuk Eropa Abraham Liu kepada surat kabar Austria, Kurier, dikutip dari Reuters, pekan lalu (11/10).
AS juga berencana membatasi ekspor kepada Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC). SMIC merupakan produsen semikonduktor terbesar di Negeri Panda.
Tak hanya itu, AS juga memasukkan TikTok dan WeChat ke dalam daftar hitam terkait perdagangan. Serangan beruntun ini dilakukan ketika Tiongkok berencana merilis cetak biru terkait teknologi skala global, China Standards 2035 pada tahun ini.
Cetak biru yang disebut ‘hype’ itu merupakan bagian dari rencana besar Tiongkok mengembangkan teknologi skala dunia. China Standards 2035 akan menjabarkan rencana pemerintah dalam menetapkan standar global terkait teknologi generasi mendatang.
Itu juga menjadi cara Beijing untuk mengurangi ketergantungan terhadap teknologi AS. “Ini merupakan ambisi untuk menetapkan aturan skala dunia pada masa depan, terutama terkait teknologi saat memasuki era baru,” kata salah satu pendiri Horizon Advisory Emily de La Bruyere saat mengikuti acara podcast bertajuk ‘Beyond The Valley’ dikutip dari CNBC Internasional, Juni lalu (22/6).