Produsen Buah RI Pakai Blockchain untuk Ramal Panen - Lacak Distribusi
Beberapa produsen produk pertanian di Indonesia mulai mengadopsi teknologi. PT Sewu Segar Nusantara atau Sunpride misalnya, menggunakan blockchain traceability untuk pelacakan rantai pasok
Presiden Director Sewu Segar Nusantara Cindyanto Kristian mengatakan, blockchain traceability merupakan teknologi pelacakan dalam rantai pasok produk pertanian dengan mengandalkan sistem blockchain.
Blockchain dapat diartikan sebagai buku besar digital. Setiap blok memuat buku besar atau ledger beserta tiga elemen lainnya, yaitu data, hash atau fungsi pemetaan data, dan hash dari blok sebelumnya.
"Melalui teknologi blockchain, rantai pasok ada jejak digitalnya dan secara real-time. Datanya benar. Jadi, ada transparansi," kata Cindyanto dalam konferensi pers virtual, Jumat (10/12).
Sewu Segar Nusantara bekerja sama dengan jejaring ritel PT Lion Super Indo dalam menerapkan teknologi blockchain. Produk pisang yang sudah ada di gerai Super Indo bisa terlacak, mulai dari data lokasi penanaman sampai pengemasan.
Blockchain juga digunakan untuk melacak lokasi tanam pisang yang akan panen. Sewu Segar Nusantara mempunyai lahan pertanian di Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung hingga Medan.
"Mitra akan tahu kapan pisang siap dipanen. Ini supaya konsumen bisa langsung membeli," katanya.
Perkiraan itu mengacu pada data-data pertanian yang perusahaan simpan di blockchain. Alhasil, petani dapat mampu mendongkrak produktivitas dan transaksi.
Sedangkan mitra ritel menjadi lebih mudah dalam menjaga stok. "Kami bisa membandingkan antara analisis data di blockchain dengan riwayat penjualan. Jadi bisa antisipasi apabila terjadi kelangkaan produk," ujar VP Buying & Indirect Procurement Lion Super Indo Donny Ardianta.
Di Indonesia, teknologi blockchain juga dimanfaatkan oleh startup pertanian HARA dalam transaksi jual beli data antara petani atau kelompok usaha lainnya dengan pihak bank, asuransi, pemerintah dan lainnya.
Data yang ditransaksikan berupa identitas petani sebagai penyedia data; geotagging seperti luas, lokasi, dan kepemilikan lahan; kultivasi seperti waktu dan jenis tanaman, pupuk dan obat yang dipakai; ekologi seperti cuaca dan tipe tanah; hingga nilai transaksi atas penjualan hasil panen.
Untuk melengkapi basis datanya, HARA merangkul beberapa instansi seperti Bank Negara Indonesia (BNI), perusahaan penelitian pertanian, BOI Research, instansi pemerintah, dan lembaga non profit (NGO).
Dari semua data itu, hanya nilai transaksi yang masih diinput secara manual, sesuai klaim petani.
Di luar negeri, sejumlah perusahaan teknologi juga gencar mengadopsi teknologi blockchain untuk sektor pertanian. Raksasa teknologi asal Amerika Serikat (AS) International Business Machines (IBM) melalui IBM Food Trust berkolaborasi dengan Walmart China dan Tsinghua University membuat platform blockchain untuk pelacakan data hasil pertanian.
Platform tersebut diklaim mampu mempersingkat waktu dalam melacak produk pertanian di jaringan ritel Walmart. Pelacakan yang sebelumnya membutuhkan waktu tujuh hari, menjadi hanya 2,2 detik.
Director National Technology Officer Microsoft Indonesia Panji Wasmana mengatakan, selain blockchain, terdapat sejumlah teknologi yang mampu memodernisasi rantai pasok pertanian seperti sensor, drone flight, dan farm equipment. Ini dapat digunakan untuk mengumpulkan data secara real-time.
Di Cina misalnya, sektor pertanian dihiasi teknologi canggih seperti kecerdasan buatan atau artificial inteligence (AI), jaringan internet generasi kelima (5G), drone hingga e-commerce khusus pangan.
Kemudian, Uber juga menyediakan layanan sewa traktor untuk petani. Lalu, ada kurir pupuk bagi petani skala kecil.
Ada juga inovasi menggunakan sentor Internet of Things (IoT), yang memungkinkan petani mendeteksi kondisi lahan hanya 10 menit. Hasilnya bisa disampaikan kepada perbankan dan lembaga keuangan lain untuk mendapatkan pinjaman.