Modal Asing Rp 21 T Kabur dari RI karena Dampak Perang Rusia - Ukraina
Bank Indonesia (BI) mencatat, modal asing kabur dari pasar keuangan domestik Rp 21,46 triliun dalam sepekan. Ini terjadi di tengah berlanjutnya perang Rusia dan Ukraina.
Berdasarkan data transaksi 7 - 9 Maret terdapat nonresiden jual neto di pasar Surat Berharga Negara (SBN) Rp 10,87 triliun. Selain itu, jual neto di pasar saham Rp 10,6 triliun.
Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono menyampaikan, asing mulai keluar dari pasar saham setelah beberapa pekan sebelumnya masih mencatat nett beli.
"Berdasarkan data setelmen sampai 9 Maret (year to date/ytd), nonresiden jual neto Rp 20,80 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp 28,3 triliun di pasar saham," kata Erwin dalam keterangan tertulis, Jumat (11/3).
Tingkat premi risiko investasi atau credit default swap (CDS) Indonesia lima tahun turun dari level 114,91 bps pekan lalu menjadi 106,04 basis poin (bps) pada Kamis (10/3). Kondisi ini sejalan dengan meredanya sentimen risk off di pasar keuangan global.
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah tenor 10 tahun stabil di level 6,72% hari ini. Sedangkan yield obligasi pemerintah AS atau US treasury tenor 10 tahun naik ke level 1,99% pada perdagangan kemarin (10/3).
Aksi investor asing yang keluar ramai-ramai dari pasar keuangan domestik tampaknya tidak banyak memengaruhi rupiah. Berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah Rp 14.301 per dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan pekan ini.
Rupiah menguat 86 poin dibandingkan penutupan pekan lalu.
Analis pasar uang Ariston Tjendra menilai, isu perang Rusia dan Ukraina masih menjadi sentimen penggerak utama rupiah pada perdagangan pekan ini. Rupiah juga volatile mengikuti perkembangan perang.
"Ketika tekanan militer Rusia terlihat melonggar, pasar berekspektasi positif terhadap aset berisiko termasuk rupiah. Sebaliknya, ketika negosiasi gagal, rupiah kembali melemah," ujarnya kepada Katadata.co.id.
Rupiah cenderung melemah awal pekan ini, bahkan sempat menyentuh Rp 14.415 per dolar AS pada penutupan perdagangan Senin (7/3). Rupiah kemudian menguat setelah Ukraina menyebut tidak akan lagi mendesak untuk masuk keanggotaan NATO.
Mata uang Garuda kemudian menguat dan menyentuh level penutupan Rp 14.276 per dolar AS pada Kamis. Namun, tren penguatan tak bertahan lama.
Rupiah ditutup melemah pada perdagangan sore ini, jika dibandingkan penutupan kemarin (10/3). Pelemahan rupiah hari ini terutama karena negosiasi yang dilakukan oleh perwakilan Ukraina dan Rusia di Turki pada Kamis berakhir buntu.
Pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh rilis data inflasi Amerika yang terus menanjak. Departemen Ketenagakerjaan melaporkan pada Kamis malam, inflasi Amerika untuk periode Februari 7,9%, tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
"Ini memvalidasi kemungkinan kebijakan kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika yang agresif," kata Ariston.
Pasar juga menanti pertemuan pembuat kebijakan bank sentral Amerika, The Fed yang dijadwalkan pekan depan. Sebagian besar pasar memperkirakan The Fed akan mengumumkan kenaikan bunga pada pertemuan tersebut.
Selain itu, pergerakan rupiah sepekan terakhir dipengaruhi oleh sentimen dalam negeri, terutama kebijakan pemerintah terkait penanganan pandemi.
"Rupiah mendapatkan kekuatan tambahan dari pelonggaran aktivitas PPKM dan kebijakan persiapan menuju endemi. Pelonggaran aktivitas akan menumbuhkan perekonomian lagi," ujarnya.
Pemerintah sudah menghapus syarat tes PCR dan antigen untuk perjalan domestik baik darat, laut maupun udara. Selain itu, masa karantina untuk perjalan dari luar negeri sudah dilonggarkan menjadi satu hari.