Daya Saing Tergerus TikTok Shop, Pelaku UKM Minta Pemerintah Tegas
Kegiatan operasi TikTok Shop yang bermula sebagai media sosial lantas berubah menjadi social commerce dinilai banyak melanggar regulasi pemerintah. Banyak pelaku usaha mengeluhkan kalah bersaing dengan produk yang dijual melalui TikTok Shop.
Sejauh ini, Tiktok belum memiliki Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (PSA) atau Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A). Perusahaan asal Tingkok ini hanya memiliki kantor perwakilan di Indonesia.
Padahal, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 50/2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) menegaskan, KP3A atau KP3A bidang PMSE tidak dapat melakukan kegiatan perdagangan secara langsung.
Berdasarkan peraturan, KP3A bidang PMSE hanya boleh melakukan kegiatan-kegiatan pendukung perdagangan. Contohnya, melakukan kegiatan promosi, penelitian pasar, hingga pemenuhan kewajiban perlindungan konsumen.
Namun, TikTok Shop justru melakukan transaksi langsung. Hal ini termasuk menyediakan fasilitas pembayaran.
Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, apabila kehadiran TikTok memberikan dampak negatif maka pemerintah harus berani melakukan pemblokiran, bahkan menutup aplikasi ini.
“Kita masih punya banyak platform e-commerce yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan UMKM," ujar pengamat teknologi tersebut, dikutip dari keterangan resminya, Kamis (21/9).
Sebelumnya, puluhan pedagang di Pasar Tanah Abang menuntut Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki agar menutup TikTok Shop. Alasannya, mereka menjadi tak bisa bersaing dengan barang-barang yang dijual di TikTok karena harganya terlalu murah. Hal ini disampaikan ketika Menteri Teten berkunjung ke Pasar Tanah Abang, Jakarta pada 19 September 2023.
Heru berpendapat, praktik penggabungan e-commerce dan media sosial menjadi social commerce, seperti yang dilakukan TikTok Shop, menciptakan banyak masalah. Misalnya, pembayaran kepada UMKM terlambat serta banjir produk impor yang menggerus produk lokal.
Oleh karena itu, pemerintah diminta semakin jeli melihat praktik lalu lintas perdagangan antarnegara melalui TikTok Shop. Pasalnya, bukan produk nasional yang dijual melainkan impor.
Pemerintah juga perlu mengatur untuk menjaga data pribadi masyarakat. Jangan sampai data pribadi masyarakat dianalisis menggunakan big data kemudian berdampak terhadap masuknya produk-produk asing ke Indonesia.
"Kita harus berhitung secara lebih jeli lagi apa manfaat TikTok Shop di Indonesia dan apa mudarat-nya. Kalau dampaknya adalah banyak produk dari luar yang masuk ke Indonesia dan melawan produk UKM kita, ini akan kontraproduktif dengan upaya pengembangan UKM di Indonesia," tutur Heru.
Menurutnya, pemerintah juga perlu membuat aturan tegas untuk setiap layanan yang ditawarkan suatu platform. Artinya, setiap aplikasi harus patuh terhadap beberapa aturan berbeda sesuai regulasi demi mengatur layanan-layanan yang ditawarkan oleh aplikasi tersebut.
Pemerintah juga perlu membuat batasan-batasan secara lebih jelas, apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh platform social commerce. Misalnya, perdagangan lintas batas, aturan perpajakan, dan lain-lain.
"Tujuannya, bagaimana ekonomi digital di Indonesia meningkat. Artinya, harus produk-produk nasional yang dikedepankan. UKM harus didukung, dilindungi, dan diberikan peranan yang besar," ucap Heru.
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki sempat menjelaskan, pemerintah hendak memisahkan antara fungsi media sosial dan e-commerce di dalam platform terpisah.
"TikTok sendiri di Tiongkok dipisah antara TikTok medsosnya dan TikTok Shop," ucap Teten.
Di banyak negara, kehadiran TikTok juga menjadi masalah. Contohnya, komisi Perlindungan Data Irlandia (DPC) yang bertanggung jawab mengawasi aktivitas TikTok di Uni Eropa, mengumumkan pada hari Jumat 15 September 2023 bahwa TikTok melanggar undang-undang privasi Uni Eropa.
Investigasi yang dilakukan oleh DPC mengungkap, pada paruh kedua 2020, pengaturan default TikTok tidak cukup memadai dalam melindungi akun anak-anak. Pengadilan memerintahkan perusahaan tersebut membayar denda sebesar USD368 juta, setara Rp5,5 triliun (kurs Rp15.000).