Dari Toyota hingga VW, Perusahaan Otomotif Berlomba Danai Taksi Online
Bisnis taksi online menjadi fenomena di berbagai belahan dunia. Publik Indonesia telah akrab dengan Go-Jek, sementara Grab telah beroperasi di delapan negara di Asia Tenggara. Begitu juga di negara-negara barat ada Uber dan Lyft.
Dewasa ini, banyak orang yang tak lagi membeli kendaraan untuk ditumpangi sendiri. Dengan skema berbagi tumpangan (ride sharing), mereka memanfaatkannya untuk mendapat tambahan penghasilan dengan bergabung ke perusahaan aplikator taksi dan ojek online. Kondisi ini dinilai sebagai peluang sekaligus tantangan bagi perusahaan otomotif.
Tren berbagi tumpangan yang memungkinkan masyarakat bepergian dengan mudah menggunakan jasa transportasi online dapat berpotensi menurunkan penjualan kendaraan. "Bagi perusahaan otomotif, ini realitas yang menyakitkan. Tapi itu bisa menjadi peluang bisnis, jika mereka memahami dengan benar," ujar Analis Sawakami Asset Management Inc Tatsuo Yoshida dikutip dari Fortune, Kamis (13/6) pekan lalu.
Kondisi itulah yang membuat langkah Toyota Motor Corporation (Toyota) menyuntikkan dana US$ 1 miliar atau setara Rp 13,9 triliun pada Grab Holding Inc (Grab) bisa dimaklumi. Sebab, selain bisa menjadikan mitra Grab sebagai konsumen mobil yang diproduksinya, Toyota juga bisa menggarap berbagai layanan lain, termasuk jasa keuangan.
(Baca juga: Beda Kongsi Toyota Investasi ke Grab sedangkan Astra Suntik Go-Jek)
Apalagi, Grab dan Toyota berencana mengembangkan layanan terhubung melalui Toyota Mobility Service Platform (MSPF) seperti asuransi berdasarkan pengguna, program kredit, dan perawatan secara berkala. "Ini (berinvestasi di Grab) adalah keputusan yang baik. Toyota tidak boleh terlambat menyasar pasar ini," ujarnya.
Pemilihan Grab di antara perusahaan penyedia jasa transportasi online lain juga dinilai tepat. Sebab, Asia Tenggara adalah pasar yang sangat penting bagi Toyota. Unit Toyota Asia menjual lebih dari 1,5 juta kendaraan pada Kuartal I-2018 di luar Jepang dan Tiongkok. Penjualan mobil dalam jumlah besar itu terjadi di wilayah cakupan Grab yakni Malaysia, Indonesia, Singapura, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Investasi ini juga dianggap strategis, sebab Toyota bisa memblokir peluang pesaingnya seperti Hyundai dan Honda yang juga investor Grab untuk merebut pasar mitra transportasi online di Asia Tenggara. Toyota mengambil langkah serupa sejak 2016, ketika berinvestasi di Uber.
Mengutip dari TechCrunch, jumlah penduduk Asia Tenggara mencapai 600 juta orang, dan setengahnya telah terhubung dengan internet. Populasi pengguna internet itu melebihi jumlah penduduk AS. Tak heran jika startup transportasi online mengincar konsumen di wilayah ini. Begitu pun dengan perusahaan otomotif yang mengincar segmen mitra pengemudi mereka.
(Baca juga: Valuasi Go-Jek Dekati Grab yang Telah Beroperasi di 8 Negara)
Apalagi, Google memproyeksikan transaksi dari industri berbagi tumpangan ini bisa mencapai US$ 20,1 miliar per tahun pada 2025. Nilai itu naik signifikan dibanding tahun lalu yang hanya US$ 5,1 miliar. Potensi ini bisa menjadi ladang uang bagi perusahaan otomotif yang pintar mencari celah bisnis.
Investasi Toyota ke Grab bukanlah yang pertama, meski disebut yang terbesar dari perusahaan otomotif untuk aplikator taksi online. Di Indonesia, PT Astra International Tbk berinvestasi US$ 150 juta atau sekitar Rp 2 triliun ke Go-Jek. Melalui investasi tersebut, Astra mendukung unicorn Tanah Air ini berekspansi secara nasional atau bahkan regional. “Main dealer kami di sana (Papua) kuat, nanti kami bisa kolaborasi,” kata Presiden Direktur Astra Internasional Prijono Sugiarto.
Sementara di Malaysia, Grab sudah mendapat investasi dari raksasa otomotif asal Jepang, Honda, pada 12 Desember 2016. Setelahnya, Toyota melalui Toyota Tsusho Corp bersama dengan perusahaan sejenis asal Korea Selatan, Hyundai berinvestasi di Grab senilai US$ 2,5 miliar atau sekitar Rp 33,2 triliun pada Agustus 2017. Investasi itu bagian dari pendanaan yang dipimpin perusahaan transportasi berbasis online asal Tiongkok, Didi Chuxing dan raksasa teknologi asal Jepang, SoftBank.
(Baca juga: Tak Hanya ke Luar Negeri, Bulan Depan Go-Jek Ekspansi ke 5 Kota Baru)
Secara global, tren perusahaan otomotif berinvestasi di startup transportasi berbasis online bahkan sudah terjadi sejak 2016. General Motors (GM) menggelontorkan investasi sebesar US$ 500 juta dolar atau sekitar Rp6,8 triliun kepada Lyft, pesaing Uber di Amerika Serikat (AS), awal 2016. Dalam kesepakatan itu, GM bersedia meminjamkan kendaraannya kepada penggemudi Lyft dengan bayaran US$ 99 atau setara Rp 1,3 juta per pekan.
Sementara di Eropa, produsen otomotif asal Jerman, Grup Volkswagen menyuntikkan dana senilai US$ 300 juta atau setara Rp kepada Gett, start up transportasi online yang bermarkas di London, pada Mei 2016 lalu. Adapun Gett pertama kali diluncurkan di Israel, pada 2011.