RI Pungut Pajak Digital Mulai Juli, Bagaimana Aturan di Negara Lain?

Image title
4 Juni 2020, 13:06
Warga mengakses layanan film daring melalui gawai di Jakarta, Sabtu (16/5/2020). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melakukan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi produk digital impor dalam bentuk
ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/hp.
Warga mengakses layanan film daring melalui gawai di Jakarta, Sabtu (16/5/2020). Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan melakukan pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen bagi produk digital impor dalam bentuk barang tidak berwujud maupun jasa (streaming music, streaming film, aplikasi, games digital dan jasa daring dari luar negeri) oleh konsumen di dalam negeri mulai 1 Juli 2020.

Kriteria khusus penyedia layanan bisa ditetapkan sebagai subjek pajak adalah memiliki pendapatan sebesar € 750 juta secara global dan pendapatan sebesar € 3 juta di Spanyol.  Selain itu, mereka tergolong sebagai penyedia iklan digital, peneyedia layanan data, dan penyedia layanan perantara pertemuan antar muka digital atau intermediary service.

Sama dengan Spanyol, Perancis menetapkan pajak layanan digital sebesar 3%. Namun negara yang dipimpin Presiden Emmanuel Macron ini lebih dulu menetapkannya, yakni mulai 1 Januari 2019. Pajak akan dikenakan untuk penyedia layanan intermediary dan penyedia layanan iklan digital. Dikecualikan untuk penyedia layanan konten digital, layanan komunikasi, dan layanan pembayaran yang memenuhi syarat dalam Pasal 314-1 peraturan moneter Perancis.

Pajak ini dikenakan kepada perusahaan domestik maupun asing yang mengambil manfaat dari pengguna Perancis. Kriteria khususnya adalah yang memiliki omzet € 750 juta secara global dan omzet € 25 juta di Perancis. Setidaknya 30 perusahaan digital multinasional terdampak kebijakan ini. 17 perusahaan di antaranya adalah berbasis di AS.

(Baca: Mengincar Pajak dari Streaming Video dan Musik)

Pemerintah Tak Perlu Khawatirkan AS

Terkait penyelidikan oleh USTR, Menteri Keuangan Sri Mulyani belum mau menanggapinya. “Nanti yang jadi headline malah pajak digital,” kata dia, Rabu (3/6) dalam konferensi pers melalui video conference usai ratas kabinet di Istana negara.

Namun, Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar menilai pernyataan USTR tak perlu dirisaukan karena tak berkaitan dengan PPN digital. “Beda kasus itu, PMK 48 terkait PPN. USTR tadi terkait PPh/PTE,” katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

Senada, Peneliti Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menyatakan PPN digital yang diterapkan pemerintah untuk pelaku PMSE asing tak berpotensi diskriminatif. Pasalnya telah terdapat konsensus global bahwa dalam transaksi lintas yuridiksi, negara lokasi dikonsumsinya barang atau jasa berhak memungut PPN.

“Prinsip ini dikenal dengan destination,” kata Bawono kepada Katadata.co.id, Rabu (3/6).

Bawono menjelaskan, kekhawatiran AS atas diskriminasi karena sejauh ini belum ada kesepakatan global tentang PPh digital yang adil. Hal ini mendorong negara-negara melakukan kebijakan sepihak atau unilateral melalui digital service tax (DST). Umumnya DST hanya dikenakan bagi perusahaan digital yang memiliki peredaran bruto di atas nilai tertentu dan banyak perusahaan AS.

PMK 48/2020 menurut Bawono telah dibuat dengan baik dari sisi pengaturan mendasar atas pemungutan PPN, bai katas objek, subjek, saat terutang, tarif, hingga kewajiban rekapitulasi data. Dari sisi administrasi pun telah diatur akan berada di bawah KPP Badan dan Orang Asing yang telah mempunyai dasar hukum melalui Perdirjen Pajak Nomor Per-07/PJ/2020.

(Baca: Netflix dan Viu Respons Soal Streaming Film Dipungut Pajak Mulai Juli)

 

 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...