Bisnis Ponsel Tertekan Sanksi AS, Huawei Beralih ke Cloud dan AI?
Huawei Technologies Co dikabarkan bakal menjual merek ponsel pintar (smartphone) premium P dan Mate, karena tertekan sanksi dari mantan presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Perusahaan Tiongkok itu pun berfokus pada bisnis komputasi awan (cloud) dan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Raksasa teknologi tersebut merombak struktur manajemen dan menunjuk kepala bisnis consumer Richard Yu untuk merangkap jabatan. Sumber CNBC Internasional yang mengetahui masalah itu, Yu kini tidak hanya menangani lini bisnis consumer, tetapi juga cloud dan AI.
Yu ditugaskan untuk memutuskan masa depan bisnis smartphone, sekaligus menjadikan Huawei sebagai raksasa cloud dan AI. "Akan ada sinergi yang lebih besar antara smartphone, cloud dan AI," kata sumber dikutip dari CNBC Internasional, Rabu malam (27/1).
Perusahaan menunjuk Yu karena dianggap berhasil menjadikan Huawei sebagai salah satu vendor smartphone teratas dari segi penjualan secara global. "Ia memiliki rekam jejak yang terbukti di Huawei dari berbagai pos," kata sumber.
Pada akhir tahun lalu, pendiri Huawei Ren Zhengfei mengatakan kepada para staf bahwa cloud akan menjadi prioritas perusahaaan pada 2021. Namun, ini bukan untuk menyaingi Alibaba, Microsoft maupun Amazon. Sebab, pangsa pasar perusahaan di lini bisnis masih kecil.
Ren mengatakan, Huawei perlu mengurangi medan pertempuran dengan perusahaan yang sudah mapan di bisnis cloud seperti Alibaba dan Amazon. "Tidak mungkin bagi kami mengikuti jalur yang sama seperti keduanya. Mereka memiliki akses atas uang tak terbatas di pasar saham AS," kata dia dikutip dari South China Morning Post, tiga pekan lalu (3/1).
Sedangkan untuk lini bisnis AI, Huawei telah mengembangkan teknologi identifikasi wajah. Pengembangan mengacu pada keperluan umum berdasarkan standar industri.
Ren mengatakan, Huawei berfokus pada cloud dan AI untuk mengurangi tekanan sanksi AS. Raksasa teknologi Tiongkok ini masuk daftar hitam (blacklist) terkait perdagangan di Negeri Paman Sam sejak Mei 2019.
Imbas sanksi tersebut, perusahaan AS dilarang bekerja sama dengan Huawei tanpa izin. Google beberapa kali mengajukan lisensi untuk bermitra dengan perusahaan Tiongkok itu. Akan tetapi, izinnya kedaluwarsa pada Agustus 2020 lalu.
Kini, ponsel dan tablet Huawei yang diluncurkan setelah pertengahan Mei 2019, tidak akan didukung oleh Google Mobile Services (GMS) seperti Gmail dan YouTube.
Sanksi AS juga mengharuskan pembuat cip yang menggunakan teknologi AS untuk mengajukan izin jika ingin bermitra dengan Huawei. Perusahaan Tiongkok itu pun menyetop produksi cip per September 2020.
Akibat sanksi AS itu, lembaga riset TrendForce memperkirakan bahwa pangsa pasar smartphone Huawei turun dari posisi ketiga menjadi ketujuh pada tahun ini. Itu artinya raksasa teknologi Tiongkok ini diprediksi kalah dari Samsung, Apple, Xiaomi, OPPO, Vivo, dan Realme.
“Keenam produsen ponsel itu diramal menguasai 80% pangsa pasar secara global pada 2021,” demikian isi laporan, dikutip dari SCMP, tiga pekan lalu (5/1).
Selain itu, karena tekanan sanksi AS, Huawei pun menjual merek smartphone Honor pada akhir tahun lalu. Kini, perusahaan juga dikabarkan bakal menjual merek ponsel premium P dan Mate.
Sumber Reuters mengatakan, Huawei sedang dalam pembicaraan tahap awal untuk menjual kedua merek ponsel premium tersebut. “Huawei berdiskusi dengan perusahaan investasi yang didukung oleh pemerintah selama beberapa bulan,” demikian kata sumber dikutip dari Reuters, Senin lalu (25/1).
Sedangkan sumber lainnya mengatakan bahwa perusahaan investasi itu bisa membentuk konsorsium untuk mengambil alih merek P dan Mate. Model ini mirip dengan kesepakatan Honor. “Huawei juga kemungkinan akan mempertahankan tim manajemen P dan Mate untuk membentuk entitas baru, jika kesepakatan berhasil,” kata sumber itu.