Enam Sebab Keturunan India Langganan Jadi Bos Raksasa Teknologi AS
Ada lebih dari 18 keturunan India yang menjabat CEO rraksasa teknologi di Amerika Serikat (AS). Yang terbaru yakni Parag Agrawal, yang ditunjuk sebagai CEO Twitter menggantikan Jack Dorsey.
Penduduk asli India hanya sekitar 1% dari populasi di AS. Selain itu, hanya 6% dari tenaga kerja di Silicon Valley.
Namun banyak dari mereka yang menjabat CEO raksasa teknologi AS. Mereka di antaranya:
- CEO Twitter Parag Agrawal
- CEO Alphabet Sundar Pichai
- CEO Microsoft Satya Nadella
- CEO Google Cloud Thomas Kurian
- CEO Adobe Shantanu Narayen
- CEO IBM Arvind Krishna
- CEO Micron Technology Sanjay Mehrotra
- CEO Palo Alto Networks Nikesh Arora
- CEO Vmware Raghu Raghuram
- CEO Arista Networks Jayshree V Ullal
- CEO NetApp George Kurian
- CEO Flex Revathi Advaithi
- CEO Vimeo Anjali Sud
- CEO Reckitt BenckiserLaxman Narasimhan
- CEO Albertsons Companies Vivek Sankaran
- CEO Deloitte Punit Renjen
- CEO Novartis Vasant "Vas" Narasimhan
- CEO Wayfair Niraj S Shah
Para CEO kelahiran India di Silicon Valley juga merupakan bagian dari kelompok minoritas berkekuatan empat juta orang, yang termasuk orang terkaya dan terdidik di Amerika. Sekitar satu juta dari mereka adalah ilmuwan dan insinyur.
Berdasarkan data yang dihimpun dari BBC dan South China Morning Post (SCMP), setidaknya ada enam alasan keturunan India menjadi langganan jabatan CEO raksasa teknologi di AS. Pertama, lebih dari 70% mendapatkan visa H-1B atau izin kerja untuk orang asing, yang dikeluarkan oleh AS kepada insinyur perangkat lunak India.
Sebanyak 40% dari semua insinyur kelahiran asing di kota-kota seperti Seattle berasal dari India. "Ini adalah hasil dari perubahan drastis dalam kebijakan imigrasi AS pada 1960-an," tulis penulis The Other One Percent: Indian in America, Sanjoy Chakravorty, Devesh Kapur, dan Nirvikar Singh dikutip dari BBC, Minggu (5/12).
Mereka menyampaikan, kelompok imigran India tidak sama dengan pendatang dari negara. Mereka yang berhasil masuk ke AS dipilih dari orang-orang India yang memiliki hak istimewa berdasarkan kasta atau yang mampu menempuh pendidikan di perguruan tinggi terkemuka.
Sistem visa di AS pun mempersempit orang-orang keturunan India yang bisa masuk dan bekerja di big tech. Mereka yakni yang memiliki keterampilan khusus, terutama di bidang sains, teknologi, teknik dan matematika, atau termasuk pasar tenaga kerja kelas atas di Amerika.
Kedua, warga India didorong untuk memecahkan masalah di negaranya. "Tidak ada negara lain di dunia yang 'melatih' begitu banyak warganya dengan cara gladiator seperti India," kata Mantan direktur eksekutif Tata Sons dan salah satu penulis The Made in India Manager R Gopalakrishnan.
Ia menyampaikan, pengurusan akta kelahiran dan kematian, penerimaan sekolah hingga mendapatkan pekerjaan yang sulit, mendorong warga India untuk memecahkan beragam masalah.
“Dari infrastruktur yang tidak memadai hingga kapasitas yang tidak mencukupi, tumbuh di India melengkapi warganya untuk menjadi ‘manajer alami’ atau pemecah masalah dengan kemampuan beradaptasi,” kata dia, mengutip ahli strategi perusahaan terkenal India C K Prahalad.
Pensiunan partner McKinsey Ashok Alexander sepakat bahwa persaingan di India kejam. Hanya sedikit yang berhasil lulus dengan nilai terbaik di Indian Institutes of Technology (IIT).
Tahun ini, sekitar 2,2 juta siswa mendaftar untuk mengikuti ujian masuk hanya untuk memperebutkan 16 rribu tempat. “Ketelitian IIT jauh melebihi Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan seleksi mandiri memainkan peran besar,” kata Ashok dikutip dari SCMP.
Ketiga, awalnya, orang India yang berpendidikan tinggi seperti ilmuwan, insinyur, dan dokter yang pergi ke AS untuk bekerja. Kini, sebagian besar merupakan pemrogram perangkat lunak (software).
Lulusan teknik India mulai bermigrasi ke AS pada akhir 1980-an untuk mengambil gelar master dalam ilmu komputer dan elektronik. Ini bertepatan dengan menurunnya jumlah orang Amerika yang mengambil jurusan teknik dan ilmu komputer.
"Ini adalah hasil terbaik dan mereka bergabung dengan perusahaan di mana yang terbaik naik ke puncak," kata pengusaha teknologi dan akademisi Vivek Wadhwa. "Jaringan yang mereka bangun (di Silicon Valley) juga memberi mereka keuntungan. Idenya adalah mereka akan saling membantu."
Wadhwa menambahkan, banyak CEO kelahiran India juga menapaki tangga perusahaan. Menurutnya, hal ini membuat mereka memiliki rasa rendah hati yang membedakan dari banyak CEO pendiri yang telah dituduh arogan dan berhak dalam visi dan manajemen mereka.
Keempat, menurut Wadhwa, orang-orang seperti Nadella dan Pichai juga membawa sejumlah kehati-hatian, refleksi dan budaya ‘lembut’ yang membuat mereka calon ideal untuk pekerjaan teratas, terutama saat reputasi raksasa teknologi anjlok.
"Kepemimpinan rendah hati, non-abrasif mereka adalah nilai tambah yang besar,” kata Saritha Rai, yang bekerja di industri teknologi di India untuk Bloomberg News.
Kelima, ada begitu banyak orang India yang dapat berbahasa Inggris. Ini memudahkan mereka untuk berintegrasi ke dalam beragam industri teknologi AS.
Keenam, pemerintah India menekankan pendidikan pada matematika dan sains. Pengusaha miliarder India - Amerika dan kapitalis ventura Vinod Khosla menilai, kebijakan ini menciptakan industri perangkat lunak yang berkembang dan melatih lulusan dalam keterampilan yang tepat.
Namun kini, perusahaan teknologi di India mulai berkembang. Muncul beberapa unicorn baru di Negeri Bollywood ini.
"Mimpi Amerika digantikan dengan mimpi startup yang berbasis di India," kata Ms Rai.