Alasan Nepal Blokir Instagram hingga WhatsApp, Picu Demo dan 19 Orang Tewas
Nepal memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook, Instagram, Whatsapp, dan X atau Twitter. Kebijakan ini memicu demo di banyak kota dan berujung ricuh, sehingga menyebabkan 19 orang meninggal dunia.
Pemerintah Nepal awalnya membuat aturan agar perusahaan teknologi mendaftarkan platform mereka di laman Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi paling lama tujuh hari sejak 25 Agustus. Kebijakan serupa juga diterapkan di Indonesia.
Namun 26 perusahaan itu gagal memenuhi kewajiban pendaftaran lokal. Kementerian Komunikasi dan Teknologi Informasi pun mengarahkan Otoritas Telekomunikasi Nepal untuk memblokir 26 platform media sosial sekaligus pada Kamis (4/9).
Kebijakan itu berdampak langsung pada mayoritas pengguna internet di Nepal. Berdasarkan data Otoritas Telekomunikasi Nepal, 90% lebih dari 30 juta penduduk negara ini sudah terhubung ke internet.
Dari jumlah tersebut, sekitar 87% pengguna aktif di Facebook, menurut catatan Statcounter.
TikTok dan aplikasi Viber milik Rakuten Jepang tidak diblokir, karena sudah mendaftar sesuai ketentuan pemerintah.
Pemblokiran 26 platform media sosia, termasuk YouTube dan Instagram itu menuai kritik dari kelompok advokasi media dan organisasi masyarakat sipil. Komite untuk Melindungi Jurnalis (CPJ) menilai kebijakan ini akan menghambat pekerjaan mereka dan membatasi akses publik terhadap informasi.
Federasi Jurnalis Nepal juga mengkritik keputusan pemerintah karena dianggap merusak kebebasan pers dan hak warga atas informasi.
Meski Mahkamah Agung Nepal sebelumnya menguatkan aturan pendaftaran lokal dengan tujuan menekan penyebaran informasi palsu, pengadilan tidak pernah memerintahkan pemblokiran terhadap platform yang gagal mendaftar. Sebaliknya, pengadilan meminta agar pemerintah membuat kerangka hukum yang jelas.
Kritik juga datang dari organisasi internasional. Direktur Kebijakan Asia Pasifik di Access Now Raman Jit Singh Chima menyebut langkah Nepal mirip dengan model ‘Tembok Besar’ ala Cina yang berpotensi mengarah pada otoritarianisme digital.
Ia menegaskan bahwa tanpa proses hukum, transparansi, dan pengawasan independen, pemerintah berisiko menggunakan kekuasaan berlebihan untuk menekan perusahaan dan membatasi konten sah.
Menteri Komunikasi dan Teknologi Informasi Nepal Prithvi Subba Gurung menyatakan pemerintah telah memberi waktu cukup lama dan berulang kali meminta perusahaan seperti Meta, Google, dan Snap untuk mematuhi aturan, namun permintaan itu diabaikan.
Ia juga menegaskan bahwa blokir akan dibuka setelah perusahaan resmi mendaftar di Nepal.
Kebijakan itu muncul di tengah kontroversi RUU media sosial yang masih menunggu persetujuan DPR Nepal. RUU ini berisi aturan ketat, termasuk ancaman hukuman penjara dan denda bagi unggahan yang dianggap merugikan kepentingan nasional.
Kritikus menilai rancangan UU media sosial itu berisiko merusak kebebasan berekspresi, meski pemerintah bersikeras tidak berniat membatasi suara publik.
19 Orang Meninggal Dunia saat Demo di Nepal
Pemblokiran 26 media sosial memicu gelombang demonstrasi di Nepal. Sebanyak 19 orang meninggal dunia selama demo berujung ricuh, saat menentang pemerintah memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook, Instagram, WhatsApp dan X atau Twitter.
The Guardian melaporkan TikTok, yang tidak diblokir pemerintah Nepal, menjadi alat mobilisasi utama masyarakat yang berdemo.
Sejak pemblokiran media sosial, video yang membandingkan perjuangan warga Nepal biasa dengan anak-anak politisi yang memamerkan barang-barang mewah dan liburan mahal atau flexing, viral di TikTok. Hal ini semakin memicu kemarahan terhadap pemerintah.
Dikutip dari The Guardian, puluhan ribu orang, sebagian besar anak muda, berkumpul untuk memprotes larangan tersebut. Demo ini juga menuduh pemerintah yang dipimpin oleh perdana menteri KP Sharma Oli melakukan korupsi dan otoritarianisme.
Di Kathmandu, bentrokan dengan polisi meletus saat para pengunjuk rasa menerobos penghalang dan berupaya menyerbu gedung DPR dan membakar pintu gerbang.
Demo menolak pemblokiran media sosial di Nepal berujung ricuh dan memakan korban jiwa. Polisi menembakkan peluru karet dan gas air mata, menyebabkan sedikitnya 19 orang tewas dan lebih dari 200 orang luka-luka. Sebagian besar korban meninggal dalam bentrokan di Kathmandu, sementara dua lainnya tewas di kota Itahari.
Aksi yang disebut sebagai “protes Gen Z” ini dipimpin kaum muda, termasuk pelajar berseragam sekolah. Mereka menentang bukan hanya pemblokiran Facebook, Instagram, dan WhatsApp, tetapi juga menyoroti dugaan korupsi dan nepotisme di kalangan elite politik Nepal.
Meski pemerintah memberlakukan jam malam, protes terus berlanjut hingga malam hari. Kemarahan publik makin memuncak setelah jatuhnya korban jiwa, hingga akhirnya Menteri Dalam Negeri Ramesh Lekhak mengundurkan diri pada Senin (8/9) malam.
