Lonjakan Harga Jagung Ancam Daya Saing Produk Perunggasan
Industri peternakan kembali menghadapi tantangan besar pada awal tahun. Jagung sebagai komoditas utama bahan baku pakan ternak harganya terus merangkak naik, jauh di atas harga acuan yang ditetapkan pemerintah.
Mengutip data Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian, pada Januari 2021 harga jagung dengan kadar air 15% tercatat Rp 4.470 per kilogram (kg). Harga jagung terus naik selama lima bulan terakhir hingga menyentuh sekitar Rp 6.200 per kg pada Mei 2021. Angka ini berada jauh di atas harga acuan pembelian dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 sebesar Rp 3.150 per kg.
Kenaikan harga jagung lokal juga terjadi bersamaan dengan melambungnya harga jagung internasional sebesar 36% sejak Oktober 2020 hingga April 2021.
Melambungnya harga jagung, turut menyebabkan harga pakan terkerek naik dari Rp 6.974 per kg pada awal tahun menjadi Rp 7.379 per Mei 2021. Akibat kenaikan ini, pelaku usaha dan industri peternakan unggas merasakan dampak signifikan dari meningkatnya biaya pembelian bahan baku dan harga pokok produksi (HPP) ayam hidup.
Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas (GPPU), Achmad Damawi mengatakan jagung sebagai bahan baku utama pakan memegang peranan penting di sektor peternakan. Kontribusi jagung terhadap harga pokok produksi (HPP) pakan di tingkat peternakan kecil sekitar 50-55%, sedangkan di tingkat commercial farm mencapai 60-68%.
Di sisi lain, sektor peternakan unggas masih bergantung pada impor bahan baku sumber protein bungkil kedelai (soy bean meal/SBM). Namun belakangan, harga SBM pun naik mengikuti harga komoditas dunia dan naiknya biaya transportasi internasional. Hal ini yang menyebabkan HPP sulit ditekan.
“Jika harga pakan naik, otomatis HPP produk peternakan juga akan naik, termasuk kenaikan harga DOC yang tidak terelakkan. Tapi apakah kami bisa menjual produk perunggasan di atas HPP? Belum tentu,” kata Achmad kepada katadata.co.id, Selasa (25/5).
Permendag 7/2020 mengatur harga batas bawah pembelian daging ayam ras di tingkat peternak Rp 19.000 dan harga batas atas pembelian di peternak Rp 21.000 per kg. Adapun harga acuan penjualan daging ayam ras di tingkat konsumen pemerintah menetapkan sebesar Rp 35.000 per kg dari sebelumnya Rp 34.000 per kg.
Sementara itu, harga pembelian ayam hidup sejak awal tahun terus bergerak dari kisaran Rp 18 ribu per kg menjadi Rp 20 ribu per kg pada April 2021.
Untuk menjual ayam hidup di atas HPP, perlu keseimbangan antara konsumsi dan ketersediaan (supply) ayam. Sementara yang terjadi saat ini, tingkat konsumsi protein khususnya ayam di Indonesia masih rendah, sedangkan jumlah pasokannya lebih besar yang menyebabkan harga ayam peternak rendah.
Untuk mengatasi persoalan di sektor peternakan saat ini, menurutnya perlu sejumlah upaya dan dukungan pemerintah. Seperti, meningkatkan pasokan jagung untuk menjaga harga pakan dan menekan ongkos produksi peternkan. Salah satunya dengan membuka keran impor jagung sementara.
Sebab, pasokan jagung yang tersedia di dalam negeri meski secara data sering kali disebut melimpah, namun realisasinya masih kurang mencukupi.
“Pasokan mungkin melimpah, tapi di daerah mana? Sedangkan feedmill (pabrik pakan) itu kebanyakan masih di Jawa,” ujar Achmad.
Jagung hanya panen dua kali dalam setahun dan tidak semua pabrik memiliki simpanan jagung untuk stok pasca-panen. Selain itu, gudang penyimpanan jagung juga terbatas.
Berikutnya, pemerintah perlu lebih gencar meningkatkan konsumsi ayam untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan dan memotong rantai distribusi sektor perunggasan dari kandang hingga konsumen. Panjangnya rantai distribusi ini diakui menyebabkan harga ayam hidup di konsumen menjadi lebih mahal dan bisa kalah bersaing dengan produk impor.
Dia juga membantah terjadinya dugaan praktik monopoli harga DOC, dikarenakan produk peternakan sendiri dijual dalam bentuk hidup dengan bahan baku hampir sama dan selalu berfluktuasi mengikuti supply dan demand pasar.
Faktor Kenaikan Jagung
Asisten Deputi Pangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Muhammad Saifulloh mengatakan ada beragam faktor yang menyebabkan harga jagung tinggi. Misalnya, penanaman jagung masih tergantung musim, produksinya belum optimal dan kebutuhan jagung per bulan yang relatif sama. Sehingga harga otomatis turun ketika pasokan berlebih dan cenderung naik ketika pasokan kurang sehingga memerlukan mekanisme pengelolaan stok.
Faktor berikutnya, belum ada mekanisme cadangan jagung pemerintah sehingga rawan muncul persoalan di tingkat petani ketika harga jatuh dan di tingkat pengguna, terutama peternak layer ketika harga jagung naik.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, prognosa kebutuhan jagung tahun ini mencapai 10,76 juta ton, dimana 7,04 juta ton di alokasikan untuk memenuhi kebutuhan industri pakan dan 3,71 juta ton untuk peternakan mandiri.
Sedangkan prognosa ketersediaan kebutuhan jagung pipilan kering periode Januari-Mei 2021 terdapat defisit khususnya pada April 265 ribu ton dan Mei 2.896 ton. "Ini membutuhkan effort luar biasa bagi produsen jagung," kata Syaifulloh dikutip dari Antara.
Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut perlu berbagai kebijakan pengembangan jagung dan sinergi sejumlah pihak. Sebagai contoh, optimalisasi pengawasan untuk memastikan implementasi Permendag No.7/2020 tentang harga acuan jagung terlaksana.
Kemudian, memperhatikan kondisi produksi dan tata niaga jagung yang bervariasi di setiap daerah dengan pengaturan harga jagung sesuai masing-masing wilayah oleh pemerintah daerah. Berikutnya, memperkuat sinergi bersama asosiasi petani dan indusutri berbasis jagung untuk mendorong komitmen peningkatan produksi dan produktivitas jagung. Pengaturan pola tanam untuk menjamin stabilitas pasokan jagung dan menghindari lonjakan harga ketika pasokan berkurang.
Sedangkan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (PHK) Kementerian Pertanian mengungkapkan tantangan penyediaan jagung sebagai bahan baku pakan. Pertama, sentra produksi jagung telah bergeser dari Jawa ke luar pulau Jawa dalam 20 tahun terakhir, sedangkan pabrik pakan kebanyakan masih berpusat di Jawa.
"Sekitar 29,7% produksi jagung dihasilkan dari provinsi yang tidak terdapat pabrik pakan," kata Nasrullah dalam paparan Forum Group Discussion (FGD) bertema Harga Jagung Melambung, April lalu.
Tantangan lainnya, produksi jagung tidak merata di sejumlah daerah. Kemudian, adanya perbedaan harga jagung antar wilayah yang disebabkan oleh variablitas ongkos produksi.
Untuk mengatasi persoalan pertama, langkah yang diperlukan adalah penguatan sistem logistik pakan atau bahan pakan agar harga bisa merata. Selain itu, penguatan sistem cadangan jagung nasional diperlukan untuk mengatasi persoalan kedua mengenai kendala produksi serta penetapan harga acuan regional untuk mengatasi masalah disparitas harga jagung antar wilayah.