Mengenal Demo Rompi Kuning, Disebut Gibran Saat Bahas Greenflation
Calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, mengajukan pertanyaan mengenai greenflation atau inflasi hijau pada cawapres nomor urut 3, Mahfud MD dalam debat semalam, Minggu (21/1). Gibran mengatakan, greenflation harus ditanggulangi sehingga tidak terjadi gerakan Yellow Jacket atau Rompi Kuning seperti di Prancis.
"Intinya, transisi menuju energi hijau itu mesti super hati-hati. Jangan sampai membebankan penelitian dan pengembangan yang mahal, proses transisi yang mahal ini kepada masyarakat, pada rakyat kecil," ujar Gibran saat debat cawapres di Jakarta Convention Centre, Minggu (21/1).
Secara singkat, greenflation adalah keadaan ketika harga komoditas naik karena transisi menuju ekonomi hijau. Greenflation memicu gerakan Rumpi Kuning Prancis, bahkan menyebar di sejumlah negara Eropa.
Apa itu Gerakan Rompi Kuning?
Gerakan Rompi Kuning merujuk pada aksi sekitar 280 ribu warga Prancis yang turun ke jalan untuk memprotes kebijakan Presiden Emmanuel Macron sejak Oktober dan memuncak pada November 2018. Dikutip dari NBC News, demonstran memblokir jalan raya di seluruh negeri, mendirikan barikade, dan mengerahkan truk-truk yang bergerak lambat.
Demonstrasi berubah menjadi kekerasan pada dengan kebakaran terjadi di jalan Champs-Élysées, sementara pengunjuk rasa bertopeng mengibarkan bendera Prancis. Polisi menanggapi bentrokan dengan menembakkan meriam air dan gas air mata. Berdasarkan data NPR, demo menyebabkan 11 orang tewas dan 4.000 orang terluka saat demo tersebut.
Nama "Rompi Kuning" merujuk pada atribut yang digunakan oleh pengunjuk rasa. Para pengunjuk rasa mengenakan rompi kuning berpendar untuk menghadapi meriam air yang ditembakkan oleh polisi selama bentrokan di Champs-Elysees.
Apa Penyebab Gerakan Rompi Kuning?
Para demonstran memprotes kebijakan Macron yang menaikkan pajak bensin dan solar sejak 1 Januari 2018. Kondisi tersebut mempengaruhi harga barang dan jasa, termasuk pangan.
Adapun Macron beralasan menaikkan pajak tersebut untuk mengurangi ketergantungan Prancis pada bahan bakar fosil. Macron meyakini kenaikan harga bahan bakar minyak dapat meyakinkan lebih banyak orang untuk membeli kendaraan yang minim emisi.
Jajak pendapat BVA menyatakan hanya 26 persen masyarakat Prancis yang memiliki opini positif terhadap Macron. Protes sebagian besar diajukan oleh kelas menengah Prancis.
Pakar politik Prancis, Famke Krumbmüller, mengatakan orang-orang yang melakukan protes adalah mereka yang membayar pajak dan asuransi Prancis yang tinggi, namun hanya mendapat sedikit insentif karena bukan kelompok termiskin di masyarakat.
“Mereka muak dengan kenaikan harga dan biaya hidup. Mereka merasa elit politik melupakan mereka,” kata Krumbmüller dikutip dari NBC, Senin (22/1).
Di Prancis, seseorang yang berpenghasilan antara US$ 30.675 hingga US$ 82.237 dikenakan pajak sebesar 30 persen. Sementara di AS, seseorang yang berpenghasilan US$ 30,675 hanya membayar 12 persen pajak federal, sementara seseorang yang berpenghasilan US$ 82,237 akan membayar 22 persen.
Untuk meredam aksi tersebut, Macron mengumumkan kenaikan upah sebesar 100 euro per bulan bagi pekerja termiskin dan menghapus pajak jaminan sosial bagi pensiun di bawah 2.000 euro pada Desember 2018.
Bagaimana Potensi Greenflation di Indonesia?
Kepala Centre of Food, Energy and Sustainable Development (CFESD) Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattof, mengatakan potensi inflasi karena transisi energi juga bisa terjadi di Indonesia.
Abra menilai Indonesia belum sesiap negara maju dalam mengadopsi energi terbarukan karena pendapatan per kapitanya lebih rendah. Kondisi itu menyebabkan Indonesia rentan alami greenflation.
Dia mencontohkan rencana pemerintah untuk mengejar target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) menjadi 23% di 2025. Untuk mengejar target tersebut, Abra mengatakan, akan ada peningkatan sumber energi primer di sektor kelistrikan maupun energi terbarukan.
Hal itu mengakibatkan terjadinya peningkatan biaya produksi atau biaya pokok penyediaan (BPP) listrik. Padahal, BPP listrik sudah makin naik pada 2023.
"Artinya apa? Setelah BPP meningkat nanti pilihannya ada dua, akan dibebankan kepada konsumen dengan kenaikan tarif listrik, atau negara yang akan menanggung melalui subsidi maupun kompensasi energi," ujarnya.