Kebijakan Pangan Berkelanjutan Kunci Atasi Dampak Krisis Iklim

Hari Widowati
6 Maret 2024, 18:29
Cuaca ekstrem yang disebabkan oleh El Nino berpengaruh pada produktivitas pangan, termasuk beras.
ANTARA FOTO/Rahmad/foc.
Cuaca ekstrem yang disebabkan oleh El Nino berpengaruh pada produktivitas pangan, termasuk beras.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

Kenaikan suhu global berdampak pada semakin tingginya intensitas cuaca ekstrem, seperti El Nino yang terjadi sepanjang 2023. Krisis iklim ini berdampak pada terganggunya produktivitas bahan pangan, seperti beras. Para peneliti menilai, pemerintah perlu mengelola produksi pangan dengan lebih adaptif untuk mengantisipasi dampak krisis iklim dengan beralih pada keberlanjutan pangan.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebutkan prediksi produksi total beras pada periode Januari-April 2024 mencapai 10,7 juta ton. Adapun produksi total beras pada 2023 untuk periode yang sama mencapai 12,98 juta ton. Hal ini menunjukkan bahwa produksi beras tahun ini lebih rendah 2,28 juta ton atau 17,57% dibandingkan dengan periode yang sama 2023.

Jadi, volume produksi beras dari Januari hingga Maret 2024 diprediksi lebih rendah dibandingkan produksi beras pada dua atau tiga tahun lalu. Kondisi ini merupakan musim paceklik yang luar biasa," ujar Budi Wuryanto, Direktur Ketersediaan Bapanas, dalam diskusi daring "Bahan Pokok Mahal: Pentingnya Keberlanjutan Pangan di Tengah Krisis Iklim" di Jakarta, pada Selasa (5/3).

Berkurangnya produksi beras tidak terlepas dari cuaca ekstrem yang terjadi sepanjang tahun 2023. Vice Chair Working Group I, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan Profesor Meteorologi dan Klimatologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Edvin Aldrian, mengatakan 2023 merupakan tahun terpanas dengan kenaikan suhu global hingga 1,52 derajat Celcius. Hingga Maret 2023, kenaikan suhu ini melebihi batas yang ditetapkan pada Perjanjian Paris sebesar 1,5 derajat Celcius.

Laporan IPCC memprediksi kenaikan suhu Bumi pada 2030 akan naik lebih cepat dibandingkan dengan prediksi sebelumnya. Pada 2019 telah diperkirakan kenaikan suhu Bumi akan tembus beberapa derajat pada 2052. Namun, temuan tahun 2020 menyebut suhu Bumi akan kembali mengalami kenaikan pada 2042 atau sepuluh tahun lebih cepat daripada prediksi awal.

Pada kesempatan yang sama, Supari, Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), menyebut El Nino yang terjadi pada 2023 merupakan El Nino dalam kategori moderat. Indeks anomali suhu muka laut di Pasifik Tengah mencapai 2,0 pada Desember 2023.

Menurutnya, dampak El Nino luar biasa terutama pada Agustus hingga Oktober ditandai dengan curah hujan yang sangat rendah di beberapa wilayah. Bahkan, kondisi tanpa hujan selama 222 hari terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat.

"Untuk kondisi tanpa hujan lebih dari dua bulan terjadi di wilayah mulai dari Sumatra bagian Selatan, Jawa, Bali, NTB, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah dan Selatan, serta sebagian Sulawesi, sebagian Maluku dan Papua. Dapat dipahami banyak daerah yang mengalami kondisi produksi pangan yang tidak maksimal," ujarnya.

Bapanas telah melakukan langkah-langkah untuk menjaga ketersediaan pangan, yakni dengan menyediakan 2,4 juta ton beras setiap tahun. Bapanas juga memberikan bantuan pangan untuk 22 juta masyarakat yang rawan pangan, melakukan stabilisasi pasokan dan harga untuk retail modern. Selain itu, Bapanas juga bekerja sama dengan pemerintah daerah melalui gerai pangan murah untuk mengendalikan inflasi di daerah.

Bapanas juga akan berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian untuk mempercepat masa tanam pada semester II 2024 di mana diprediksi terjadi fenomena La Nina yang menyebabkan kondisi iklim lebih basah untuk pertumbuhan padi.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...