Sebanyak 62% Sungai Kekeringan Imbas Perubahan Iklim
Sebanyak 62 persen sungai di dunia memiliki debit air keluar menuju laut di bawah normal bahkan jauh di bawah normal pada 2022, berdasarkan data analisis peta global. Kondisi tersebut merupakan salah satu dampak perubahan iklim.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyatakan debit air di bawah normal atau jauh di bawah normal itu artinya daerah tersebut mengalami kekeringan. Di sisi lain, terdapat daerah di dunia yang memiliki debit air sungai melampaui normal atau surplus sedang terjadi kebanjiran.
Dwikorita mengatakan, perubahan iklim mencakup berbagai aspek, termasuk peningkatan suhu global, perubahan pola curah hujan, kenaikan permukaan air laut, serta dampaknya terhadap lingkungan dan manusia. Apabila penanganan persoalan ini tidak disertai komitmen politik yang kuat, maka dampaknya akan sangat besar karena dapat memicu terjadinya konflik yang berimplikasi terhadap stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan.
"Butuh komitmen bersama yang kuat untuk mengatasi krisis air akibat perubahan iklim," ujarnya dikutip dari siaran pers, Senin (27/5).
Komitmen tersebut, kata dia, harus dilakukan seluruh negara tanpa terkecuali mengingat persoalan air menjadi ancaman serius bagi seluruh negara di dunia. Semua negara harus bekerja lebih cerdas dari apa yang sudah dilakukan sebelumnya untuk menghadapi laju perubahan iklim.
"Seperti mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam proses politik dan juga regional tanpa mengabaikan kearifan lokal setiap negara," ujarnya.
Sungai Tercemar
Selain menghadapi kekeringan, banyak sungai di desa/kelurahan yang tercemar di Indonesia. Pencemaran paling banyak berasal dari limbah rumah tangga.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sebanyak 66.636 desa/kelurahan di Indonesia memiliki sungai. Dari jumlah itu, 16.487 desa/kelurahan memiliki sungai yang tercemar limbah.