Riset: Minat Investor Rendah pada Perusahaan Sawit yang Terapkan ESG

Tia Dwitiani Komalasari
7 Juni 2024, 06:21
Pekerja menunjukkan kelapa sawit di Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (29/4/2023). Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat stok minyak sawit per bulan Februari 2023 sebanyak 2,63 juta ton atau menyusut dari posisi
ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/foc.
Pekerja menunjukkan kelapa sawit di Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (29/4/2023). Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat stok minyak sawit per bulan Februari 2023 sebanyak 2,63 juta ton atau menyusut dari posisi Januari 2023 sebesar 3,09 juta ton.
Button AI SummarizeBuat ringkasan dengan AI

Studi yang dilakukan oleh Centre for Governance and Sustainability (CGS) di National University of Singapore (NUS) Business School menemukan bahwa perusahaan kelapa sawit yang transparan dalam pelaporan ESG (Environmental, Social, and Governance) menghadapi resistensi dari investor. Studi tersebut mengungkapkan bahwa semakin transparan perusahaan-perusahaan ini tentang inisiatif ESG mereka, semakin rendah nilai mereka di mata investor.

Temuan ini berbeda dengan sektor-sektor lain yang dinilai lebih tinggi oleh investor dan stakeholder jika sektor tersebut memiliki laporan keberlanjutan yang mendetail. Studi ini juga menyoroti bagaimana investor di sektor kelapa sawit secara tidak langsung mendukung praktik yang tidak berkelanjutan dan berkontribusi terhadap degradasi lingkungan.

Meskipun sudah ada upaya dari perusahaan untuk beralih ke produksi kelapa sawit yang berkelanjutan dan patuh pada regulasi, perusahaan-perusahaan ini menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan tuntutan pemegang saham sehingga memprioritaskan rasio harga terhadap pendapatan atau price-to-earning ratio (P/E) di atas ESG.

Data untuk studi ini didapat dari laporan keuangan 36 perusahaan kelapa sawit yang terdaftar di bursa saham di berbagai negara termasuk Indonesia, Malaysia, Jepang, dan Inggris, dan dianalisis menggunakan Sustainability Policy Transparency Toolkit (SPOTT). Selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), toolkit ini mencakup 182 indikator dalam sepuluh kategori.

Skor diberikan berdasarkan transparansi pengungkapan ESG perusahaan. Secara khusus, 31 dari 36 perusahaan tersebut memiliki operasi di Indonesia dan Malaysia, pasar utama untuk produksi kelapa sawit.

Rekomendasi bagi Pemerintah, Investor, dan Perusahaan

Direktur Centre for Governance and Sustainability di NUS Business School, Profesor Lawrence Loh, mengatakan investor perlu memperhatikan dampak tanggung jawab ESG, tidak hanya pada kinerja dan nilai keuangan perusahaan, tetapi juga pada kinerja non-keuangan.

Dia mengatakan, tujuan utama dari tanggung jawab ESG adalah untuk memasukkan norma-norma yang dapat diterima secara sosial ke dalam aktivitas bisnis untuk mencapai tujuan keberlanjutan demi kebaikan masyarakat. Perlu lebih banyak upaya untuk menunjukkan bahwa keberlanjutan dan profitabilitas tidak saling bertentangan.

"Ini memerlukan upaya kolaboratif dari pemerintah, perusahaan kelapa sawit, dan terutama para investor yang berperan penting dalam mendorong perubahan menuju praktik yang lebih berkelanjutan," ujarnya dikutip Jumat (7/6).

Pemerintah dari negara-negara produsen dan pengimpor dapat memperkuat legislasi dan kebijakan untuk memberikan insentif bagi perusahaan untuk berinovasi dan menerapkan praktik-praktik berkelanjutan. Berinvestasi dalam teknologi yang membantu perusahaan meningkatkan pelaporan ESG, terutama bagi perusahaan skala kecil dengan keterbatasan sumber daya, dapat mendorong persepsi positif investor terhadap inisiatif keberlanjutan di sektor ini.

Lawrence mengatakan, para investor mungkin belum sepenuhnya memahami keuntungan jangka panjang dari tata kelola keberlanjutan. Untuk mendorong adopsi 'ESG' sebagai tolak ukur, perusahaan dapat lebih berupaya untuk berkomunikasi dan mendidik para pemangku kepentingan tentang upaya ESG mereka dan mengatasi kekhawatiran para stakeholder yang timbul.

"Dengan melakukan hal ini, mereka dapat menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan, meningkatkan reputasi sektor kelapa sawit, dan mengembalikan kepercayaan investor," ujar Lawrence.

Secara global, minyak kelapa sawit merupakan industri dengan nilai yang mencapai US$ 70,4 miliar, menjadikannya minyak nabati yang paling banyak diproduksi, dikonsumsi, dan diperdagangkan, menurut data Grand View Research.

Indonesia dan Malaysia menjadi pemimpin dalam hal produksi. Indonesia menghasilkan 59% (44,7 juta ton) dan Malaysia 24% (18,1 juta ton) dari total produksi minyak kelapa sawit di dunia.

Di Indonesia, sektor kelapa sawit menyediakan pekerjaan langsung dan tidak langsung bagi sekitar 17 juta orang , berdasarkan data International Labour Organisation. Negara ini juga memanfaatkan lebih dari 14 juta hektar perkebunan, berdasarkan data Statista.

Berdasarkan data IMARC Group, Pasar minyak kelapa sawit Indonesia bernilai US$ 10,5 miliar pada tahun 2023 dan diperkirakan akan mencapai US$ 13,2 miliar pada tahun 2032, tumbuh pada tingkat 2,6% (CAGR) selama 2024-2032.

Peraturan terbaru di Indonesia mewajibkan perusahaan publik dan lembaga keuangan untuk menyerahkan laporan keberlanjutan. Pada 2022, 88% perusahaan publik telah mematuhi aturan ini.

Sebuah studi tahun 2023 oleh NUS Business School mengungkapkan bahwa persentase perusahaan Indonesia yang mengungkapkan struktur tata kelola keberlanjutan meningkat dari 52% pada tahun 2021 menjadi 84% pada tahun 2022. Sayangnya, tren ini kurang terlihat di sektor kelapa sawit.

Penelitian yang berjudul ‘Innovating ESG Integration as Sustainable Strategy: ESG Transparency and Firm Valuation in the Palm Oil Sector,’ diterbitkan dalam Journal of Sustainability Edisi 22, Volume 15, yang dikelola oleh MDPI, sebuah Jurnal Akses Terbuka. 

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...