Indonesia Ingin Jadi Bagian dari Perlombaan Global Ekonomi Rendah Karbon
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan Indonesia yakin pembangunan berkelanjutan adalah kunci kemakmuran di masa depan. Indonesia ingin menjadi bagian dari perlombaan global yang saat ini terjadi menuju ekonomi rendah karbon.
Menlu Retno mengutip laporan Bloomberg yang menunjukkan investasi di sektor energi global pada tahun lalu mencapai rekor baru, tumbuh 17% menembus US$ 1,7 triliun. Salah satu sektor yang menunjukkan tren peningkatan adalah investasi di sektor kendaraan listrik.
Investasi di sektor kendaraan listrik mencapai US$ 634 miliar (Rp 9.772 triliun) pada 2023, melejit hampir lima kali lipat sejak 2020. Investasi di rantai pasok energi bersih mencapai US$ 135 miliar dan diprediksi akan naik menjadi US$259 miliar (Rp 2.080 triliun) pada 2025.
Besarnya nilai investasi di sektor ekonomi hijau ini menunjukkan bahwa energi terbarukan adalah bahan bakar di masa depan. Selain itu, energi bukan lagi sekadar komoditas tetapi sudah menjadi motor bagi pertumbuhan ekonomi.
Namun di tengah semua pencapaian itu, Retno menyebut perkembangan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) justru belum mencapai separuh jalan dari target di 2030. "Level investasi transisi energi saat ini belum cukup untuk membuat dunia tetap di jalurnya dalam pencapaian nol emisi bersih pada pertengahan abad ini," ujar Retno dalam pidato kunci di Indonesia International Sustainable Forum atau ISF 2024, di Jakarta Convention Center (JCC), pada Jumat (6/9).
Itu sebabnya, Indonesia melalui diplomasi terus mendorong upaya-upaya kolaboratif dan berkelanjutan untuk mencapai SDGs dan mengimplementasikan Kesepakatan Paris. "Seiring dengan perubahan ekonomi global, diplomasi memainkan peran yang semakin penting dalam membentuk masa depan yang berkelanjutan," ujarnya.
Tiga Prioritas Menuju Ekonomi Rendah Karbon
Retno menggarisbawahi tiga prioritas. Pertama, berinvestasi dan membangun ekonomi hijau. Fokus ini membutuhkan dukungan teknologi dan pembiayaan. Ada berbagai inisiatif pembiayaan berkelanjutan dan inovatif. Salah satunya adalah Just Energy Transition Program (JETP) yang diperkenalkan Indonesia pada perhelatan G20 di Bali, pada 2022. Pada saat itu, Indonesia juga menjadi salah satu inisiator dari Asia Zero Emission Community (AZEC).
"Dari inisiatif-inisiatif ini, pesan kami sangat jelas. Kita harus memastikan bahwa teknologi hijau digunakan untuk kebaikan masyarakat," kata Retno. Melaui ISF, ia berharap pemerintah bisa bekerja sama dengan swasta untuk memastikan investasi dalam pembangunan dan teknologi hijau ini terjangkau.
Kedua, memanfaatkan potensi masif dari Ekonomi Biru. Ekonomi biru diprediksi bisa menghasilkan US$1,5 triliun dan 30 juta lapangan pekerjaan per tahun. Untuk membuka potensi ekonomi biru tersebut, Indonesia sudah meluncurkan Peta Jalan Ekonomi Biru 2023-2045.
Peta jalan itu ditujukan untuk mengembangkan sektor-sektor seperti aquakultur dan industri hilir perikanan. Hal ini untuk memastikan pertumbuhan ekonomi sejalan dengan konservasi laut.
Ketiga, memfokuskan pada penyerapan karbon. Menurut Retno, upaya untuk mengurangi emisi kadangkala melupakan pentingnya penyerapan karbon. Indonesia sebagai pemilik hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia, mampu menyerap emisi karbon dalam jumlah besar.
"Dengan deforestasi yang mencapai level terendah dalam 20 tahun, Anda bisa pastikan Indonesia berada di jalur yang benar. Indonesia juga mengadopsi strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan iklim 2050 dan peta jalan untuk mencapai target nol emisi bersih pada 2060 atau lebih cepat," tuturnya.
Lebih lanjut, Retno mengatakan, upaya untuk mencapai masa depan yang berkelanjutan adalah tanggung jawab bersama yang melibatkan individu maupun organisasi besar. Ia mengajak seluruh pihak memperkuat kolaborasi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.