Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa Susun Panduan Bagi Petani Kecil
Indonesia, Malaysia dan Uni Eropa akan merumuskan sebuah panduan praktis mengenai peraturan-peraturan deforestasi Uni Eropa (EUDR) bagi para petani kecil pada bulan November mendatang. Hal ini diungkapkan oleh sebuah kelompok antarpemerintah yang mewakili para produsen kelapa sawit.
Komisi Eropa pada awal bulan ini mengusulkan penundaan implementasi EUDR, yang akan melarang impor komoditas yang terkait dengan deforestasi, menyusul desakan dari industri dan pemerintah di seluruh dunia.
Melansir laporan Reuters, Dewan Negara-negara Produsen Minyak Kelapa Sawit (CPOPC) mengatakan Uni Eropa, Indonesia, dan Malaysia akan bekerja sama dalam menyusun rekomendasi dan panduan praktis bagi para petani kecil dan usaha kecil di sektor kelapa sawit, kopi, karet, kayu, dan kakao untuk mempersiapkan mereka dalam menghadapi EUDR.
CPOPC adalah sebuah organisasi antarpemerintah untuk negara-negara penghasil minyak kelapa sawit, termasuk produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Honduras.
EUDR akan mewajibkan perusahaan-perusahaan yang mengimpor kedelai, daging sapi, kakao, kopi, minyak kelapa sawit, kayu, karet, dan produk-produk terkait untuk membuktikan bahwa rantai pasok mereka tidak berkontribusi terhadap kerusakan hutan dunia, atau mereka akan dikenakan denda yang besar. Indonesia sebelumnya mengatakan peraturan tersebut akan memberlakukan prosedur administratif yang memberatkan petani kecil dan mengeluarkan mereka dari rantai pasok global.
Penundaan Implementasi UU Anti-Deforestasi Picu Kekhawatiran
Penundaan implementasi Peraturan Anti-Deforestasi dari Uni Eropa (EUDR) menjadi perhatian serius bagi petani sawit Indonesia, khususnya yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).
Kepala Departemen Advokasi SPKS Marcel Andri mengatakan sejak 2015 SPKS telah mempersiapkan diri untuk memenuhi standar EUDR dengan berbagai upaya, seperti sertifikasi dan pendataan petani. Namun, keputusan Komisi Uni Eropa untuk menunda pelaksanaan EUDR dari sebelumnya Desember 2024 menjadi hingga 30 Desember 2025 bagi perusahaan besar dan hingga 30 Juni 2026 bagi usaha mikro dan kecil, memicu kekhawatiran.
"Usulan penundaan EUDR ini berdampak signifikan terhadap biaya yang telah dikeluarkan petani," katanya dalam sebuah diskusi "Perbaikan Tata Kelola Komoditas Berkelanjutan Indonesia dalam Menjawab Tantangan Pasar Global", di Jakarta, Senin (7/10).
Dia mengungkapkan opportunities cost yang dikeluarkan petani kelapa sawit kira-kira mencapai Rp 200 ribu per hektare. SPKS sudah mendata sekitar 70 ribu petani, termasuk yang telah tersertifikasi RSPO dan ISPO. Namun, ketika EUDR ditunda, batu loncatan yang seharusnya petani rasakan dari investasi ini berpotensi tidak terwujud.
Ia juga menyoroti banyak petani sawit yang belum terlibat dalam sertifikasi apapun, baik dari pemerintah maupun lembaga internasional. Hal ini menunjukkan upaya perbaikan tata kelola belum memberikan manfaat nyata bagi petani.
Padahal, EUDR bisa menjadi peluang besar bagi petani untuk masuk ke dalam rantai pasok global dan meningkatkan kapasitas mereka. "Selama 12 bulan ke depan, penting untuk membahas bagaimana sistem dukungan pendanaan ke petani, serta manfaat dari pendataan, penyediaan koordinat, dan sistem ketelusuran. Hal ini harus segera diuji dan diselesaikan," ujarnya seperti dikutip Antara.
EUDR merupakan regulasi Uni Eropa yang bertujuan memastikan produk yang masuk ke pasar Eropa tidak berkontribusi pada deforestasi atau degradasi hutan di negara penghasil.
Dengan rencana penundaan ini, SPKS berharap Uni Eropa dan Pemerintah Indonesia khususnya tetap memperhatikan perlindungan petani kecil, serta memberikan fasilitas pelatihan dan investasi yang diperlukan untuk mematuhi standar EUDR.