COP30 Didesak Hubungkan Keadilan Iklim dengan Perbaikan Kejahatan Historis
Ratusan kelompok lingkungan dan hak asasi manusia mendesak konferensi tingkat tinggi iklim global PBB atau COP30 untuk menghadapi akar sejarah krisis iklim dan memasukkan keadilan reparatif dalam agenda.
Surat tersebut berpendapat kejahatan historis, seperti perbudakan dan kolonialisme, menciptakan ketidaksetaraan global dalam akses sumber daya, mendorong kontribusi asimetris terhadap emisi, meningkatkan kerentanan terhadap bencana, dan terus mengecualikan banyak pihak dari pengambilan keputusan terkait iklim.
"Tidak akan ada keadilan iklim sejati tanpa keadilan reparatif," kata para penandatangan, seperti dikutip Reuters, Senin (29/9).
Surat yang diprakarsai oleh organisasi seperti Instituto Luiz Gama dari Brasil dan Caribbean Pan African Network itu telah ditandatangani oleh lebih dari 240 organisasi dan tokoh masyarakat. Para penandatangan termasuk Amnesty International Amerika Serikat (AS) dan cabang-cabang lokal Black Lives Matter.
Menteri Lingkungan Hidup Kolombia juga mendukung surat tersebut. Surat itu akan dikirim ke pemerintah Brasil dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada pekan ini.
Upaya Mereparasi Ketidakadilan Historis Jadi Bagian dari Negosiasi Iklim
"Krisis iklim tidak muncul baru-baru ini — ini adalah kelanjutan dari emisi gas rumah kaca, ekstraksi, perampasan, dan kekerasan rasial selama berabad-abad," demikian kutipan surat tersebut. Para penandatangan mendesak COP30 untuk mengatasi ketidakadilan historis dan kebutuhan akan reparasi sebagai bagian dari negosiasi apa pun tentang iklim.
Surat itu mengatakan keadilan reparatif akan sangat berarti bagi Brasil untuk memimpin seruan ini. Brasil menerima lebih banyak orang yang diperbudak daripada negara lain mana pun dan saat ini memiliki populasi keturunan Afrika terbesar di luar Afrika.
Surat itu mendesak Brasil dan COP30 untuk menciptakan ruang resmi di KTT yang didedikasikan untuk keadilan iklim dan reparasi, yang dipimpin oleh orang Afrika, orang keturunan Afrika, dan masyarakat adat.
Surat itu juga meminta Brasil untuk memasukkan tema-tema ini ke dalam agenda politiknya dan secara aktif memfasilitasi percakapan semacam itu di COP30.
Tuntutan keadilan reparatif yang telah berusia berabad-abad telah mendapatkan momentum baru di seluruh dunia, tetapi reaksi keras terhadap tuntutan tersebut juga semakin meningkat. Para kritikus mengatakan negara dan lembaga modern tidak boleh membayar atau memberikan ganti rugi lain atas kesalahan sejarah.
Anielle Franco, Menteri Kesetaraan Rasial Brasil, mengatakan kepada Reuters tahun lalu bahwa kesalahan masa lalu telah lama tidak diakui oleh mereka yang berkuasa. Ia juga mengatakan keadilan reparatif adalah tentang "membangun masa depan yang lebih bermartabat."
