Masuknya Pembangkit Nuklir dalam Strategi Besar Energi Nasional
- Pemerintah membuka opsi memasukkan pembangkit nuklir atau PLTN dalam strategi besar energi nasional.
- PLTN skala kecil dalam strategi besar tersebut dinilai tidak ekonomis.
- Teknologi pembangkit nuklir belum terbukti dan pengembangannya perlu subsidi besar.
Pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN akan masuk dalam grand strategy (strategi besar) energi nasional. Rencananya, pemerintah membangun pembangkit itu dalam skala kecil terlebih dahulu, 100 megawatt (MW) hingga 200 MW untuk daerah terpencil.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan konsumsi listrik Indonesia saat ini baru sekitar seribu kilowatt hour (kWh) per kapita. Angka ini lebih rendah dibandingkan negara Asia lainnya.
Padahal, salah satu parameter negara maju yaitu tingkat konsumsi listrik yang tinggi. Artinya, roda perekonomian bergerak aktif. Negara ini belum mencapai tahap tersebut dan pemerintah mengupayakan agar ekonomi dapat terus tumbuh.
Dalam lima tahun ke depan, targetnya kapasitas pembangkit listrik mencapai di atas 100 gigawatt (GW). Sedangkan sampai dengan Juni 2020, kapasitasnya baru mencapai 70.964 megawatt (MW), seperti terlihat pada Databoks di bawah ini.
Di sisi lain, Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris 2015 melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Dalam aturan ini, pemerintah menargetkan penurunan emisi karbon dioksida hingga 29% dengan usaha sendiri dan 41% bersama dukungan internasional pada 2030.
Guna mengejar target itu, pemerintah membuka opsi pemenuhan energi dari sumber energi baru. Teknologi nuklir disebut paling siap dibandingkan bahan bakar ramah lingkungan lainnya.
Pemenuhan energi bersih pun menjadi keharusan. Pemanfaatan energi terbarukan yang memakai tenaga matahari, panas bumi, angin, dan air, selama ini masih terkendala keekonomian proyek dan harga listrik.
“Kami melihat mana yang mudah dikembangkan. PLTN baru menjadi opsi dan masuk grand strategy (strategi besar) energi nasional,” kata Satya kepada Katadata.co.id, Kamis (18/3).
Namun, ada beberapa syarat untuk mengembangkan nuklir. Pertama, harus ada pembentukan badan pengawas khusus. Kedua, pengembangannya berdasarkan keputusan nasional.
Terakhir, teknologinya harus teruji. PLTN tidak dapat terbangun dalam skala apapun jika semua syarat itu tidak terpenuhi. “Kami minta Indonesia tidak dijadikan ajang percobaan,” ucapnya.
Namun, Satya mengatakan, terlalu jauh untuk berbicara mengenai nilai keekonomian. Yang utama saat ini adalah memposisikan PLTN. "Ini masih tahap pembicaraan. Kecuali kalau Indonesia sudah mengundang investor. Kami belum sampai ke situ,” ujarnya.
Langkah pertama yang akan pemerintah lakukan saat ini adalah memasukkan PLTN dalam peta jalan atau roadmap. Untuk itu, perlu ada revisi kebijakan energi nasional atau KEN.
Kalimat “PLTN sebagai opsi terakhir” perlu diubah menjadi kata memungkinkan. “Grand strategy nasional itu belum disetujui. Nantinya menjadi embiro perubahan KEN dan RUEN (rencana umum energi nasional),” ujar Satya.
Mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro sehari sebelumnya menyebut kalimat dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN tersebut sebenarnya bukan titik, tapi koma. “Terlihat dalam penjelasan pasal 11 PP tersebut,” ujarnya.
Di dalam penjelasannya tertulis, pemanfaatan energi nuklir memerlukan standar keselamatan kerja dan keamanan yang tinggi serta mempertimbangkan dampak bahaya radiasi nuklir terhadap lingkungan hidup. Karena itu, penggunaannya dipertimbangkan sebagai pilihan terakhir.
Apabila telah dilakukan kajian mendalam mengenai teknologinya, tulis aturan itu, energi nuklir dapat dimanfaatkan untuk tujuan damai, pemenuhan kebutuhan energi dalam skala besar, dan mengurangi emisi karbon.
PLTN Skala Kecil Dinilai Tak Ekonomis
Kepala Perwakilan ThorCon International Bob S. Effendi berpendapat hampir semua pengembang tidak mau berinvestasi di PLTN skala kecil. Dengan memakai produsen listrik swasta (IPP), pembangkitnya tidak akan ekonomis dibandingkan yang berbahan bakar batu bara.
Ia menyebut rata-rata PLTN skala kecil dengan desain jenis PWR (pressurized water reactor) membutuhkan dana sekitar US$ 5 ribu per kiloWatt. Untuk membangun berskala 200 megawatt, maka kebutuhan dananya mencapai lebih Rp 14 triliun. "Apakah pemerintah akan menyediakan dana sebesar itu? Saya kurang yakin," kata Bob.
Dengan kapasitas PLTN sebesar 200 megawatt, maka harga listriknya tidak dapat berkisar di US$ 6 sen per kiloWatt hour. Kemungkinan angkanya menajdi US$ 7 sen sampai US$ 8 sen per kiloWatt hour.
Indonesia, menurut dia, telah siap merealisasikan pembangunan pembangkit energi baru tersebut. Negara ini memiliki pengalaman mengoperasikan reaktor nuklir lebih dari 50 tahun. Lokasinya berada di Pusat Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Serpong, Banten, dan dioperasikan oleh Badan Tenaga Atom Nasional (Batan).
ThorCon berencana membangun PLTN dengan kapasitas 500 megawatt. “Thorcon dapat beroperasi pada level 40% atau sekitar 200 megawatt, Setelah demand naik dalam dua tahun dapat naik menjadi 90%,” kata Bob.
PLTN Masuk Grand Strategi Dinilai Tidak Tepat
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan saat ini para pengusung PLTN berdalih jika ada teknologi jenis reaktor modular kecil (SMR) yang lebih aman dan murah. Pembandingnya adalah pembangkit nuklir generasi kedua dan ketiga yang berkapasitas di atas seribu megawatt per reaktor.
Padahal, menurut dia, sampai hari ini belum ada teknologi SMR yang mendapatkan lisensi untuk beroperasi secara komersial. Yang paling dekat dan sudah mendapatkan lisensi desain dari Komisi Pengatur Nuklir alias NRC Amerika Serikat adalah reaktor NuScale Power LLC.
Perkiraannya, pembangkit itu baru beroperasi pada 2028. “Izin konstruksinya baru akan diajukan pada 2023 dan konstruksinya di Idaho, AS, paling cepat 2025,” kata Fabby.
Dengan begitu, parameter proven technology atau teknologi terbukti untuk membangun PLTN skala kecil tidak dapat dipakai. “Kita masih harus menunggu sampai SMR beroperasi, terbukti aman, dan harganya murah,” ucapnya.
Program uji coba SMR di AS, Kanada, Inggirs, dan Rusia sejauh ini tidak ada yang bisa dijangkau investor tanpa subsidi besar-besaran dari pemerintah. Harga listriknya pun jauh lebih mahal dibandingkan teknologi pembangkit lainnya, yang risikonya lebih rendah.
Dengan alasan tersebut, Fabby berpendapat memasukkan PLTN skala kecil dalam strategi besar energi nasional tidaklah tepat. Apalagi kalau pembangkit ini dibangun untuk menerangi daerah-daerah terpencil dan tertinggal.
Ia mempertanyakan apakah pemerintah siap memberikan subsidi besar-besaran untuk teknologi ini. Di sisi lain, energi terbarukan lain yang lebih kompetitif harganya terpaksa dikorbankan.
DEN dan pemerintah sebaiknya fokus mendorong akselerasi pengembangan energi terbarukan untuk substitusi pembangkit fosil. Dari sini, barulah bergerak ke pengembangan dan pemanfaatan hidrogen bersih (green hidrogen). "Ketimbang menghabiskan sumber daya dan perhatian kepada PLTN," kata Fabby.
Fokus pada energi nuklir justru akan memperlambat pengembangan energi terbarukan. Untuk mendukung transisi energi Indonesia hingga 2030, perlu penambahan 30 gigawatt pembangkit energi hijau.
Pemerintah sebaiknya memusatkan perhatian pada target itu karena perlu banyak penyesuaian regulasi, investasi, dukungan politik, dan sumber daya manusia. “Karena itu, rancangan undang-undang energi baru terbarukan (UU EBT) lebih baik diubah menjadi undang-undang energi terbarukan saja,” ujarnya.
Definisi kedua energi itu, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007, berbeda. Energi baru berasal dari teknologi baru, baik dari energi terbarukan maupun tidak terbarukan. Contohnya, nuklir, hidrogen, gasifikasi batu bara, batu bara cair, dan gas metana batu bara (CBM).
Sedangkan energi terbarukan berasal dari sumber daya energi yang berkelanjutan apabila dikelola dengan baik. Misalnya, panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perubahan suhu lapisan laut.
The pandemic has led Indonesia to revisit its roadmap to the future. This year, we invite our distinguished panel and audience to examine this simple yet impactful statement:
Reimagining Indonesia’s Future
Join us in envisioning a bright future for Indonesia, in a post-pandemic world and beyond at Indonesia Data and Economic Conference 2021. Register Now Here!