Revisi Perpres 35/2018 Pemerintah Sediakan Dua Opsi Pengolahan Sampah
Pemerintah berencana untuk merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Revisi ini supaya pengolahan sampah kota menjadi listrik dapat cepat terimplementasi.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana mengatakan dalam aturan saat ini, 12 Kota di Indonesia didorong untuk membangun instalasi pengolahan sampah menjadi energi listrik. Namun hingga saat ini realisasinya cukup lambat.
Oleh karena itu, dalam revisi kali ini pemerintah berniat untuk mengubah sampah menjadi energi. "Dibuka opsi dari 12 kota tersebut untuk menerapkan teknologi RDF (refused derived fuel) untuk nanti dicampurkan dengan batu bara pada PLTU," ujar Dadan kepada Katadata.co.id, Rabu (30/6).
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan menjelaskan pada Kamis lalu bahwa ada pertemuan antara Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan, Menteri ESDM Arifin Tasrif, dan 12 kepala daerah secara virtual. Pertemuan tersebut membahas mengenai lambatnya kemajuan dari program ini.
Oleh karena itu, KPK mengusulkan agar pengelolaan sampah didorong untuk dijadikan pellet. Kemudian hasilnya dijual ke PLTU milik PLN untuk menggantikan batu bara maksimal 5%.
"Nah perpresnya akan direvisi isinya jangan mengunci 12 daerah agar mengolah sampah jadi listrik. KPK usul agar opsi RDF (pellet) itu dibuka juga. Jadi dibebaskan saja mau pilih yang mana. Konsepnya bukan waste to electricity tapi waste to energy saja," kata Pahala.
Sebelumnya, Pahala menyebut salah satu kepala daerah sempat keberatan dengan proyek pembangkit itu. Pasalnya, untuk menyetor sampah ke swasta, pemerintah harus membayar Rp 310 ribu per ton. Sementara jumlah yang dihasilkan mencapai 1.400 ton per hari.
PLN pun wajib membayar listrik yang berasal dari PLTSa. Padahal, belum tentu tegangannya sesuai ketentuan. “Lagi-lagi proyek ini hanya menguntungkan swasta,” ujarnya.
Dalam Perpres Nomor 18 Tahun 2016, PLN disebut menjadi pembeli listrik PLTSa dengan harga US$ 0,18 per kilowatt hour (kWh). Tapi pembangunan pembangkitnya tidak terealisasi.
Pemerintah kemudian merevisi aturan itu melalui Perpres Nomor 35 Tahun 2018. Sebanyak 12 daerah ditunjuk untuk percepatan pembangunannya. Tarif pembelian listriknya turun menjadi US$ 0,13 per kWh. Sampai akhir 2019, PLN tidak melakukan realisasi pembelian listrik tersebut.
Pahala berpendapat koordinasi pemerintah sangat buruk dalam merealisasikan proyek PLTSa. Kementerian teknis harus bergerak cepat mencari solusi. Pasalnya, pemerintah daerah terus membayar sampah yang dikumpulkan sekalipun tidak sesuai kuota.
Biaya mengumpulkan sampah dari rumah tangga hingga ke tempat pengolahan sampah atau tipping fee dapat memberatkan anggaran daerah (APBD). KPK menyarankan pemerintah dapat mengganti program tersebut agar lebih efisien, yakni sampah menjadi energi, jangan sampah menjadi listrik.