Ekonom: Transisi EBT Jadi Kunci PLN Raih Pendanaan di Masa Depan
Upaya pemerintah mendorong pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di Indonesia dinilai cukup tepat. Komitmen transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) dinilai harus menjadi fokus utama, karena ini berkaitan dengan kapasitas PLN mencari pendanaan di masa mendatang.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, semakin lambat PLN menyerap sumber energi primer dari EBT, maka diperkirakan PLN akan sulit mencari pendanaan khususnya di pasar keuangan global.
"Mau terbitkan surat utang pun, investor akan tanya berapa bauran energinya, berapa batubara atau energi fosil yang sudah berkurang dalam proses transisi ke EBT, misalnya," kata dia kepada Katadata.co.id, Selasa (14/9).
Bhima menawarkan solusi untuk membantu pendanaan PLN dalam rangka transisi ke EBT salah satunya dengan memanfaatkan skema pajak karbon. Melalui skema ini, diharapkan PLN akan mendapatkan dana dari sektor-sektor yang berkaitan dengan eksternalitas negatif besar ke lingkungan hidup, contohnya sektor ekstraktif.
Kemudian ada pengalokasian atau pemanfaatan dana spesifik dari pajak karbon yang bisa disalurkan ke PLN sebagai insentif beralih ke EBT. Menurutnya skema ini nantinya lebih pas dibahas di tataran peraturan presiden atau peraturan menteri.
"Yang jelas dalam revisi UU Ketentuan Umum Perpajakan sudah terbuka pembahasan adanya pajak karbon jadi hanya teknisnya saja nanti pengaturan insentif bagi PLN," katanya.
Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa menilai penggunaan energi listrik terbesar di Indonesia saat ini faktanya adalah PLTU batu bara.
Sehingga, selain menggenjot pengembangan energi terbarukan, sebaiknya pemerintah fokus terlebih dulu mengeliminasi dampak emisi dari sektor batu bara. Misalnya, melalui implementasi dari program co-firing pada PLTU.
Sebagai ilustrasi kebutuhan bahan bakar PLTU batu bara setiap tahunnya lebih dari 100 juta ton. Andai saja jumlah tersebut 10% digantikan oleh program co-firing, maka setidaknya dibutuhkan lebih dari 10 juta ton biomassa.
"Dan konversi sampah per tahun yang dibutuhkan bisa dibangun ekosistem dan pelakunya bisa melalui banyak UMKM menjadi pemasok bahan bakar pengganti batu bara sebanyak 10% tersebut," kata dia.
Apalagi teknologi konversi biomassa dan sampah menurut Iwa juga bukan teknologi yang tinggi, sehingga UMKM bisa turut terlibat menjadi pelaku usaha. Kalau saja 10% tersebut terpenuhi setiap tahunnya, Iwa pun optimis kontribusi terhadap capaian target 23% pada 2025 sangat mungkin tercapai.
Fokus Pada PLTS Atap Sudah Tepat
Bhima pun menilai keputusan pemerintah untuk memfokuskan transisi energi pada PLTS atap sudah tepat. Pasalnya, negara-negara lebih dulu melakukan transisi ini di dunia mengawalinya dengan meningkatkan porsi PLTS atap.
Menurut dia, setidaknya 55% dari pembangkit EBT yang terpasang secara global berasal dari solar photovoltaic (PV) atau panel surya. Kemudian disusul oleh angin 28% dan air 11%.
Dia mengakui harga instalasi EBT termasuk transmisi untuk keperluan sumber listrik sebelumnya memang mahal. Namun untuk saat ini, harga instalasi tersebut sudah lebih terjangkau karena banyaknya produsen baru yang inovatif dan membuat persaingan harga lebih efisien.
"Economies of scale dari produksi komponen EBT semakin besar, sehingga tidak ada alasan untuk beralih dari batu bara, misalnya ke energi solar PV," kata dia.
Selain itu, Bhima juga kurang setuju dengan anggapan bahwa pengembangan PLTS atap secara masif dapat merugikan keuangan PLN. Yang ada, pengembangan PLTS atap juga memberikan efek pengganda (multiplier effect) yang luas.
Seperti menciptakan lapangan kerja yang jauh lebih banyak dari energi fosil. Jika penciptaan tenaga kerjanya lebih besar, pada ujungnya pendapatan masyarakat akan meningkat dan konsumsi listriknya akan naik.