Sri Mulyani: Indonesia Butuh Rp 81,58 T untuk Transisi Energi Bersih
Indonesia membutuhkan dana sebesar US$ 5,7 miliar atau setara Rp 81,58 triliun untuk membiayai transisi energi bersih. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, kebutuhan pembiayaan untuk menuju energi baru dan terbarukan tak bisa hanya mengandalkan pemerintah dan membutuhkan partisipasi swasta.
"Ini adalah kebutuhan dana yang sangat besar," ucap Sri Mulyani dalam diskusi The Role of Green Finance in Delivering Southeast Asia’s Sustainability Goals secara daring di Jakarta, Kamis (30/9).
Ia menjelaskan, pemerintah saat ini telah menggunakan seluruh instrumen fiskal untuk mendanai proyek hijau berkelanjutan. Salah satunya, melalui penerbitan obligasi hijau global yang dikombinasikan dengan prinsip syariah.
"Indonesia merupakan salah satu dari negara emerging market yang berhasil menerbitkan obligasi hijau global ini," katanya.
Menurut Sri Mulyani, setidaknya terdapat dua cara untuk memastikan partisipasi sektor swasta dalam transisi energi. Pertama, melalui pemapanan pasar karbon. Namun, menurut dia, hal ini masih sangat baru di Indonesia dan sedang dalam tahap diskusi antara pemerintah dengan berbagai pihak, terutama terkait harga karbon.
"Langkah ini akan sangat dibutuhkan agar kami bisa memasuki rezim perdagangan karbon, jadi pasar harus dikenalkan," ucap Sri Mulyani.
Kedua, melalui pengenalan performance based payment atau klasifikasi beban pungutan pajak kepada perusahaan. Pengenaan pungutan akan bergantung banyaknya emisi yang dihasilkan dalam satu masa produksi.
"Kami baru saja berdiskusi dengan parlemen semalam, dan parlemen juga memberikan dukungan yang sangat kuat, dengan syarat kami memberikan peta jalan yang jelas menuju energi karbondioksida yang lebih rendah," katanya.
Pemerintah dan komisi XI DPR telah menyepakati kebijakan pajak karbon yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP). Draf RUU ini akan segera dibawa ke Sidang Paripurna untuk disahkan sebagai undang-undang.
Berdasarkan draft RUU HPP yang diterima Katatadata.co.id, penetapan tarif pajak karbon ditetapkan lebih tinggi atau sama dengan besaran tarif harga karbon di pasar per kilogram CO2 ekuivalen. Tarif minimum pajak karbon dalam RUU tersebut ditetapkan Rp 30 per Kg CO2 ekuivalen, jauh di bawah usulan pemerintah sebelumnya Rp 75 per Kg CO2 ekuivalen.
"Dalam hal tarif harga karbon di pasar karbon lebih rendah dari Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen, tarif pajak karbon ditetapkan sebesar paling rendah Rp30 per kilogram CO2 ekuivalen," tulis dalam RUU HPP BAB IV tentang Pajak Karbon pasal 13 ayat (9).