ESDM: Implementasi Co-firing PLTU Terkendala Harga & Pasokan Biomassa
Kementerian ESDM tengah merampungkan Rancangan Peraturan Menteri (Permen) terkait program co-firing biomassa pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Hal ini dilakukan guna mendorong tercapainya target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana mengatakan rancangan proses penyusunan rancangan permen terkait program co-firing telah rampung. Namun masih ada kendala terkait penetapan harga biomassa yang masih perlu dikaji lebih lanjut.
"Sudah selesai, tinggal satu aspek saja dari sisi harga yang belum bisa diputuskan. Karena dari penjual tinggi dan dari sisi yang beli ingin harganya lebih rendah. Ini bagaimana kita bisa menyatukan," ujar Dadan dalam diskusi secara virtual, Jumat (15/10).
PLN sangat terbuka terhadap program ini. Bahkan sudah ada 29 PLTU yang siap mengimplementasikannya, termasuk persentase campurannya. "Sekarang dimana ini barangnya. Ini sudah kami hitung ada. Tapi bicara lebih detail, bicara logistik adalah bicara harga," kata Dadan.
Dia pun berharap agar Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) dapat memberikan patokan harga tetap untuk pasokan biomassa. Sehingga pemerintah dapat memfasilitasinya dalam bentuk Permen untuk mempercepat pengembangan EBT.
Menurut Dadan jika dilihat dari sisi kompleksitas, maka pemanfaatan biomassa untuk program co-firing jauh lebih simpel. Oleh sebab itu, dia mengharapkan dukungan dari MEBI untuk dapat berkoordinasi dengan berbagai pihak mengenai kepastian harga ini.
"PLN sudah sangat membuka diri untuk hal ini. Banyak pihak menyatakan dukungannya. PLN sudah ada MoU dengan BUMN lain. Tapi memang yang belum terjadi ini kontrak. Karena kontrak itu ada volume ada harga," katanya.
Upaya memperpanjang umur PLTU dengan cara co-firing dinilai bukan senjata pamungkas untuk mencapai target 23% EBT. Lembaga kajian internasional asal Amerika Serikat, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyebut tanpa insentif signifikan akan sulit melaksanakan program itu.
Analis keuangan energi IEEFA Putra Adhiguna mempertanyakan kelayakan ekonomi, stabilitas pasokan bahan baku, dan tantangan teknis penggunaan co-firing. “Apakah PLN dapat menjalankannya tanpa hambatan teknis dan Keuangan,” katanya beberapa waktu lalu.
PLN berencana menerapkan co-firing pada PLTU-nya dengan cara mencampur bahan bakar batu bara dengan biomassa. Target kapasitas pembangkit yang memakai teknologi ini adalah 18 gigawatt (GW) dan pelaksanaannya mulai 2021 hingga 2023.
Dengan angka kapasitas pembangkit tersebut, menurut Adhiguna butuh industri biomassa dalam skala besar. "Untuk pasok bahan bakar co-firing yang stabil sebesar empat juta ton sampai sembilan juta ton per tahun," ucapnya.
Berdasarkan analisis IEEFA ada kerangka perencanaan yang perlu menjadi pertimbangan Kementerian ESDM dalam melaksanakan pencampuran bahan bakar tersebut. Pertama, co-firing merupakan teknologi sejak akhir 1990-an yang dipakai di sejumlah negara. Namun, aplikasinya secara global sangat kecil dibanding teknologi lainnya.
Hambatan penggunaannya selama 20 tahun terakhir tidak banyak berubah. Seperti harga biomassa yang tinggi, sulitnya membangun rantai pasok bahan baku yang stabil, serta berbagai tantangan teknis yang kemungkinan besar akan membebani PLN secara operasional dan keuangan.
Jika berbagai hambatan tersebut tidak dapat diatasi, maka belum jelas apakah teknologi ini dapat berkembang secara efisien di Indonesia. Apalagi kondisi geografis yang sangat beragam.
Amerika maupun Tiongkok sampai sekarang belum berhasil mengembangkan operasi co-firing dalam skala besar. Padahal, dua negara ini memiliki potensi biomassa yang melimpah, pembangkit listrik tenaga batu bara yang besar, serta basis teknologi pembangkit listrik yang kuat.