Pekerja dan UMKM Terdampak Transisi Energi Harus Dapat Jaminan Sosial
Pemerintah diminta untuk mengalokasikan dana jaminan sosial bagi pekerja dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang terdampak transisi energi. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, berharap agar dana tersebut mulai dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di 2024.
Dia mengatakan program transisi energi perlu didukung untuk mencapai target net zero emission 2060. Salah satunya dengan melakukan pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Namun demikian, penutupan pembangkit listrik itu akan berdampak pada pemangkasan pekerja PLTU dan tambang, atau usaha kecil di sekitarnya.
"Seperti warung-warung kecil yang tadinya mensuplai makanan dan minuman untuk para pekerja PLTU. Itu harus dihitung kerugian semuanya oleh pemerintah, dan juga harus menghitung kenaikan angka kemiskinan,” ujar Bhima saat ditemui Katadata.co.id, di Jakarta, Kamis (26/10).
Oleh karena itu, Bhima berharap pemerintah membuat reformasi jaminan sosial untuk kelompok rentan yang terdampak transisi energi, termasuk pekerja tambang. Hal itu terutama pada daerah-daerah yang banyak memiliki PLTU batu bara.
“Jadi itu harus ada, dan ini yang sedang kita dorong untuk bisa masuk di dalam kerangka jaring pengaman sosial,” ujarnya.
Adapun bentuk jaminan sosial tersebut di antaranya:
- Menambah unsur transisi energi pada program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
- Bantuan tunai
- Penyediaan lapangan pekerjaan bagi pekerja terdampak
- Mengadakan pelatihan untuk para pekerja di sektor fosil agar bisa bertransisi ke energi terbarukan
- Kredit usaha rakyat (KUR) atau subsidi bunga untuk pelaku usaha.
Pangkas 1 Juta Pekerja
Industri batu bara dunia diperkirakan kehilangan hampir 1 juta lapangan pekerjaan pada tahun 2050 akibat adanya transisi energi global. Riset juga menunjukkan bahwa Cina dan India akan menjadi negara yang mengalami kehilangan terbesar.
Melansir dari Reuters, ratusan tambang batu bara yang padat karya diprediksi akan ditutup dalam beberapa dekade mendatang karena sudah pensiun. Negara-negara akan mengganti batu bara dengan sumber-sumber energi rendah karbon yang lebih bersih.
Namun, lembaga think tank yang berbasis di Amerika Serikat, Global Energy Monitor (GEM), mengatakan sebagian besar tambang yang kemungkinan akan ditutup tidak memiliki perencanaan untuk memperpanjang usia operasi mereka atau untuk mengelola transisi menuju ekonomi pasca batu bara.
Untuk itu, Manajer Proyek untuk Global Coal Mine Tracker dari GEM, Dorothy Mei mengatakan pemerintah perlu membuat rencana untuk memastikan bahwa para pekerja tidak menderita akibat transisi energi.
“Penutupan tambang batu bara tidak dapat dihindari, tetapi kesulitan ekonomi dan perselisihan sosial bagi para pekerja tidak dapat dihindari," ujarnya dilansir dari Reuters, Selasa (10/10).
GEM menyebutkan terdapat 4.300 proyek tambang batu bara masih beroperasi di seluruh dunia, dan memiliki hampir 2,7 juta tenaga kerja. Disisi lain, GEM menemukan, lebih dari 400.000 pekerja dipekerjakan di tambang-tambang yang akan berhenti beroperasi sebelum tahun 2035.
Selain itu, GEM mengestimasi, hanya sekitar 250 ribu pekerja tambang yang dibutuhkan jika negara-negara di dunia menjalankan rencana mengurangi penggunaan batu bara secara bertahap untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius. Jumlah pekerja tersebut kurang dari 10% dari saat ini.