Peneliti Nilai Bioenergi Jadi 'Solusi Palsu’ dalam Transisi Energi

Rena Laila Wuri
11 Januari 2024, 08:58
Pekerja memeriksa kualitas pohon kaliandra yang telah dipanen dari Hutan Taman Energi Cirata, Bendungan Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (10/8/2023).
ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/Spt.
Pekerja memeriksa kualitas pohon kaliandra yang telah dipanen dari Hutan Taman Energi Cirata, Bendungan Cirata, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Kamis (10/8/2023).
Button AI Summarize

Manager Program Bioenergi Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, mengatakan bioenergi bukanlah solusi utama dari transisi energi yang berkeadilan. Menurut para peneliti Trend Asia, implementasi bioenergi yang ada selama ini dilakukan hanyalah solusi palsu.

“Jadi menurut pengamatan kami dari apa yang telah terjadi, bioenergi itu hanyalah solusi palsu. Karena klaim-klaim netral karbon itu tidak dapat dipertanggungjawabkan,” kata dalam diskusi media “Meneropong Bioenergi di Tangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029" secara daring, Rabu (10/1).

Amel mengatakan, pemanfaatan bioenergi mulai dari pembukaan lahan hingga penggunaannya sebagai bahan bakar masih menghasilkan emisi. Ia lantas menyoroti terkait implementasi bioenergi melalui co-firing (pembakaran bersama) biomassa pelet kayu dan batu bara di PLTU.

“Klaim netral karbon dari co-firing biomassa adalah klaim yang keliru dan seharusnya diluruskan pemerintah,” ucapnya.

Menurut Amel, penerapan co-firing juga dikhawatirkan justru memperpanjang usia PLTU batu bara dengan emisi tinggi. Seruan untuk meneruskan co-firing sebetulnya kontradiktif dengan upaya memensiunkan PLTU batu bara.

Bahkan menurut perhitungan Tren Asia, rencana pemerintah untuk melakukan co-firing di 52 PLTU hingga 2025 justru akan menghasilkan surplus emisi gas rumah kaca sebesar 26,48 juta ton emisi karbon.

Amel menuturkan beberapa PLTU yang seharusnya ditutup karena sudah tua, seperti PLTU Paiton, PLTU Suralaya, dan PLTU Ombilin, hingga kini masih beroperasi karena mengimplementasikan co-firing dan dianggap menyumbang energi terbarukan.

Selain itu, memenuhi kebutuhan biomassa untuk co-firing juga memerlukan produksi dari hutan tanaman energi (HTE) yang memerlukan pembukaan hutan alam.

Di sisi lain, pemerintah menargetkan 10 persen co-firing di 52 PLTU yang ditargetkan pemerintah. Itu berarti, dibutuhkan 10,2 juta ton biomassa sebagai campuran batu bara.

Untuk memenuhi target tersebut, dibutuhkan lebih dari 6 juta hektare HTE yang pasti akan membabat hutan alam. Selain mengeluarkan emisi, pembukaan hutan lahan juga memengaruhi kehidupan masyarakat adat atau warga sekitar.

Amel menuturkan terdapat juga masyrakat adat menjadi korban dalam pembebasan lahan di Pulau Siberut Mentawai. Ia mengatakan, pembangunan 3 PLTBm di Pulau Siberut, Mentawai, mengakibatkan deforestasi terhadap hutan adat, perubahan corak produksi masyarakat adat dan mengancam ketahanan pangan, serta budaya lokal.

Saat ini, masih ada izin HTE seluas 19 ribu hektare yang sebagian besarnya masih berupa hutan alam. Praktik co-firing  pada PLTU Indramayu 1 juga justru memperpanjang dampak negatif yang dialami warga.

Amel mengatakan banyak lahan sawah dan perkebunan rusak hingga hasil laut semakin berkurang. Selain itu, gangguan pernapasan dan penglihatan akibat asap PLTU menyerang masyarakat sekitar.

Reporter: Rena Laila Wuri

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...