PLN Sebut Tantangan Utama Transisi Energi, dari Biaya hingga Kebijakan

Image title
16 Juli 2024, 15:24
ebt, transisi energi, pln,
PLN
Ilustrasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Oelpuah berkapasitas 5 megawatt peak (MWp) sebagai pembangkit EBT yang berlokasi di Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Button AI SummarizeMembuat ringkasan dengan AI

PLN menyebut ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi dalam mendorong transisi energi di Indonesia. Mulai dari harga, hingga teknologi untuk menekan emisi karbon yang dihasilkan pembangkit listrik.

EVP Perencanaan Sistem Ketenagalistrikan PLN, Warsono, mengatakan tantangan pertama dari sisi harga, karena untuk membangun transmisi, smart grid, super grid hingga membangun carbon capture utilization storage (CCUS) dibutuhkan dana yang tidak murah.

"Sampai US$ 700 miliar hanya untuk keperluan listrik saja. Belum termasuk sektor lain seperti industri, transportasi, itu belum," ujarnya dalam sebuah diskusi virtual, Selasa (16/7).

Tantangan lainya adalah mengenai teknologi yang belum memadai untuk dapat mengakselerasi pertumbuhan energi terbarukan yang rendah emisi.

Selanjutnya adalah, perlunya peraturan dari pemerintah untuk dapat mendukung transisi energi. "Belum semua aspek itu ada policy support-nya untuk transisi energi ini. Ini menjadi tidak kalah pentingnya," ujarnya.

Lanjutnya, diperlukan semua pihak agar duduk bersama memikirkan pembangunan energi yang berkelanjutan. Pasalnya, untuk dapat menekan emisi dari pembangkit salah satu caranya adalah mengurangi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.

Namun, mematikan PLTU batu bara akan memberikan dampak ekonomi yang cukup besar salah satunya adalah hilangnya pekerjaan bagi masyarakat sekitar tambang. "Bagaimana melakukan retraining. Retraining ini juga pekerjaan. Tentunya bukan hanya PLN, ini sudah menyangkut negara juga," ucapnya.

Pembangkit EBT PLN

PLN mencatat telah membangun pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) sebesar 8.786 MW megawatt (MW) sampai dengan 2023. Perusahaan pelat merah tersebut menargetkan kapasitas energinya akan ditopang oleh 75% EBT pada 2040.

Pembangkit EBT tersebut terdiri dari pembangkit berbasis hidro (PLTA/PLTMH) sebesar 5.777 MW, pembangkit berbasis panas bumi (PLTP) sebesar 2.519 MW, dan sisanya berasal dari surya (PLTS), angin (PLTB) dan biomassa.

Direktur Utama PT PLN, Darmawan Prasodjo mengatakan, kegiatan tersebut merupakan salah satu upaya untuk mendukung pemerintah dalam mengakselerasi transisi energi di Indonesia.

PLN bersama Pemerintah akan terus meningkatkan bauran energi bersih melalui rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) dan rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN). PLN menargetkan kapasitas energi di Indonesia akan ditopang oleh EBT sebesar 75% dan gas sebesar 25% pada 2040.

”Jadi, mulai hari ini hingga tahun 2040, penambahan kapasitas sebesar 21 Gigawatt (GW) berasal dari pembangkit listrik tenaga gas, 28 GW dari tenaga surya dan angin, 31 GW dari tenaga air dan panas bumi, 2,4 GW dari energi baru lainnya,” ujar Darmawan dalam keterangan, Senin (15/7).

Untuk mencapai target tersebut, PLN telah meluncurkan skenario Accelerated Renewable Energy Development (ARED). Lewat skenario ini, PLN akan membangun Green-Enabling Transmission Line untuk mengakomodasi persebaran sumber EBT di pelosok Indonesia.

Meski begitu, Ia melihat terdapat tantangan yang sangat besar dalam menjalankan transisi energi, baik dari segi teknis, kebijakan, komersial, dan pendanaan.

"Untuk itu kolaborasi yang kuat antar komunitas global sangat dibutuhkan karena PLN tidak bisa menjalankan semuanya dalam suasana kesendirian, perubahan iklim adalah permasalahan global yang harus dihadapi bersama-sama," ujarnya.

Urgensi Transisi Energi

Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Rachmat Kaimuddin mengatakan, transisi energi dilakukan sebagai upaya memitigasi perubahan iklim global.

Ia menegaskan, pemerintah sangat menyadari krisis iklim dapat menimbulkan ancaman serius bagi 280 juta penduduk Indonesia.

”Tentu saja, urgensi ini mengharuskan kita untuk berubah, dan solusi dari persoalan iklim adalah melakukan transisi energi. Kita harus beralih dari penggunaan bahan bakar fosil ke sumber energi non-fosil yang nol karbon tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi,” ujar Rachmat.

Sementara itu, Assistant Secretary of the Treasury for International Markets, United States Department of the Treasury, Alexia Latortue menyebut, akselerasi transisi energi tidak hanya mampu memberikan dampak positif untuk lingkungan, tetapi juga bagi perekonomian masyarakat.

Pasalnya, dengan adanya transisi energi di suatu negara itu dapat menarik investasi masuk hingga menciptakan lapangan kerja baru. ”Jelas bahwa transisi ramah lingkungan akan menarik investasi baru ke negara ini," ujarnya.

Dia mengatakan, banyak perusahaan yang hadir di agenda tersebut memiliki komitmen dan target net zero mereka sendiri. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan mencari sumber energi yang ramah lingkungan, dan negara-negara yang siap menawarkan sumber energi tersebut akan memiliki keunggulan kompetitif.

Reporter: Djati Waluyo

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...