Kolaborasi Berbagai Pihak untuk Mitigasi Krisis Iklim
Indonesia bergabung dengan negara-negara di dunia memitigasi krisis iklim dengan meratifikasi Paris Agreement pada 2016 dalam UU No. 16/2016. Menindaklanjuti hal itu, Indonesia menetapkan Nationally Determined Contributions (NDC) sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri atau 41 persen dengan bantuan global pada 2030.
Komitmen tersebut kemudian diterjemahkan dalam RPJMN 2020. Di dalamnya disebutkan bahwa target bisa tercapai melalui penurunan emisi di sektor kehutanan, pertanian, energi termasuk transportasi, industri, penggunaan produk, dan penanganan limbah.
Senior Engineer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nugroho Adi Sasongko mengatakan dalam forum HSBC Summit 2022 (14/9/2022), pemerintah melalui Perusahaan Listrik Negara (PLN) mulai mengganti penggunaan batu bara sebagai bahan baku listrik jadi biomass. “Ini dilakukan untuk mengurangi 7 sampai 10 persen emisi dari produksi listrik,” ucap Nugroho.
Ia mengakui, mengganti energi fosil jadi renewable energy seratus persen merupakan hal sulit. Ini berkaitan dengan teknologi, bahan baku, kemampuan SDM, dan keuangan. Sebagai upaya menjembatani berbagai variabel tersebut, pada 2021, BRIN mengundang lebih dari 500 kepala daerah secara hybrid untuk mendiskusikan bagaimana pembangunan di daerah bisa berkelanjutan.
Acara tersebut memilih sepuluh daerah sebagai pilot project dan bisa menentukan program apa yang akan dijalankan sesuai dengan kebutuhan daerahnya. Semua mendapat pendanaan dari Korean Exim Bank dan Menkomarves selama lima tahun. “Ini jadi contoh, pentingnya keterlibatan lembaga keuangan membantu pemerintah daerah menerapkan praktik-praktik berkelanjutan,” tutur Nugroho.
Pada sisi pengusaha, Deputi Direktur Program Iklim, Energi, Kota, dan Laut untuk WRI Almo Pradana dalam forum yang sama menyatakan, banyak pelaku industri yang belum paham apa kontribusi mereka dalam penambahan emisi baik nasional maupun global. “WRI kemudian mendampingi pelaku industri memahami hal ini,” ucap Almo.
Pendampingan dilakukan dalam tiga hal. Pertama, memastikan pelaku industri berkomitmen untuk turut serta mengurangi emisi sampai 1,5 derajat celcius pada 2030. Kedua, membantu pelaku industri bisa menghitung emisi yang dikeluarkan.
Ketiga, setelah mereka tahu sumber emisi, pelaku industri membuat program pengurangan emisi seperti restorasi gambut, konservasi lahan dan hutan, menggunakan energi terbarukan, sampai penyediaan green jobs. Setelah itu, pelaku industri bisa mengakses pendanaan yang berkelanjutan dari lembaga keuangan untuk menerapkan program-program mereka.
Guna mempercepat transisi energi, diperlukan modal yang besar. Di dalam peta jalan NDC, Indonesia memerlukan pembiayaan sebesar Rp4.520 triliun untuk melakukan aksi mitigasi. Sedangkan APBN hanya mengalokasikan Rp89,6 triliun per tahun atau 3,6 persen dari total pengeluaran pemerintah.
Dengan kondisi yang ada, APBN tidak bisa menutupi kebutuhan dana mitigasi krisis iklim. Perlu ada kolaborasi dengan institusi keuangan swasta dan negara, serta aliansi keuangan global untuk memudahkan transisi sebagai katalisator perubahan.
HSBC Group sebagai lembaga keuangan internasional berkomitmen mendukung pemerintah Indonesia melakukan transisi energi serta pembangunan berkelanjutan. Direktur Utama dan Kepala Grup Pusat Keuangan Berkelanjutan HSBC Zoe Knight menuturkan, HSBC melakukan tiga hal untuk merealisasikan komitmen ini.
HSBC membuat target, berapa banyak dana yang harus diserap dalam projek-projek yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Perusahaan mendukung semua nasabah melakukan transisi energi yang lebih bersih sehingga target pendanaan bisa tercapai. HSBC juga bekerja sama dengan regulator, dalam hal ini pemerintah, untuk turut mengembangkan kebijakan terkait pendanaan berkelanjutan.
“Ini persoalan transisi ekonomi, dari ekonomi konvensional ke ekonomi berkelanjutan. HSBC menyiapkan US$1 triliun dalam bentuk instrumen keuangan berkelanjutan (sustainable finance) untuk mendukung transisi energi,” ucap Zoe.