Usulan Label Hijau PLTU Batu Bara Picu Kekhawatiran Para Ahli
Langkah Indonesia yang hendak mengkategorikan pembangkit listrik tenaga batu bara untuk industri sebagai pembangkit berkelanjutan memicu kritik dari para pengamat energi dan keuangan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).
Seperti diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sedang dalam proses merevisi Taksonomi Hijau, yakni sebuah kerangka kerja yang mendefinisikan jenis investasi apa yang dapat dianggap ramah lingkungan, sehingga memenuhi syarat untuk mendapatkan berbagai insentif.
Usulan revisi tersebut, antara lain pemberian label hijau pada pembangkit listrik tenaga batu bara baru yang khusus melayani industri pengolahan logam.
Label seperti itu, yang merupakan label terbersih dalam skala hijau-kuning-merah Taksonomi Hijau, akan secara efektif mendefinisikan apa yang disebut pembangkit listrik tenaga batu bara sebagai proyek yang "melindungi atau memperbaiki lingkungan", sama seperti proyek energi terbarukan.
"Sangat memprihatinkan saat ini pembangkit listrik tenaga batu bara baru dapat dilihat sebagai upaya melindungi atau memperbaiki lingkungan. Ini bertentangan dengan bukti ilmiah,” tulis Christina Ng dan Putra Adhiguna, peneliti IEEFA, dikutip dari KrAsia, Minggu (24/9).
Para peneliti IEEFA memperingatkan, bahwa hal ini akan menurunkan Indonesia ke peringkat terbawah dalam taksonomi keuangan ramah lingkungan atau keuangan berkelanjutan.
Setidaknya ada sepuluh taksonomi keuangan ramah lingkungan atau berkelanjutan yang telah dipublikasikan secara global. Tidak ada satu pun negara yang mengakui PLTU sebagai pembangkit yang ramah lingkungan, termasuk negara-negara seperti Cina dan Rusia, dimana seperti Indonesia, keberadaan batu bara masih besar dan PLTU baru sedang dalam proses pembangunan.
Laporan IEEFA menyebutkan, jika Indonesia meneruskan ide terbarunya, yaitu menggunakan tujuan transisi energi untuk membenarkan kelayakan pembangkit listrik baru untuk mendapatkan pendanaan ramah lingkungan, maka taksonomi Indonesia akan menjadi negara pertama yang mengakui batu bara sebagai batu bara ramah lingkungan
Hal ini akan berimbas pada menurunnya kredibilitas Indonesia, serta ditakutkan mengarah pada tindakan greenwashing atau pencucian lingkungan yang direstui negara.
Juru kampanye pendanaan energi Asia Tenggara di kelompok iklim Market Forces Binbin Mariana mengatakan, pelabelan hijau pada batu bara mungkin mendorong bank untuk menyediakan apa yang disebut pembiayaan hijau untuk membiayai perusahaan batu bara. Hal ini membuat perusahaan-perusahaan tersebut akan enggan mengalihkan model bisnis dari bahan bakar fosil.
"Praktik transition-washing sangat mengkhawatirkan, karena pembiayaan ramah lingkungan digunakan untuk mendanai perusahaan-perusahaan padat karbon yang tidak memiliki rencana kredibel untuk melakukan transisi bisnis mereka dari penggunaan bahan bakar fosil," katanya.
Bahkan, adanya label hijau akan membuat investor asing kemungkinan besar akan menghindari investasi di sektor batubara Indonesia, karena sebagian besar akan memandang hal tersebut sebagai hal yang tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, usulan pelabelan OJK dapat menjadi bumerang bagi upaya Indonesia untuk menarik pembiayaan ramah lingkungan.
Selain itu, para peneliti IEEFA berpandangan, pelabelan hijau pada batu bara juga akan mewajibkan investor asing untuk melakukan lebih banyak uji tuntas, yang pada gilirannya akan meningkatkan biaya transaksi.
Menurut IEEFA, OJK harus menyadari bahwa regulator keuangan Indonesia ini tidak perlu menyebut pembangkit listrik tenaga batu bara 'hijau' untuk mendapatkan pembiayaan.