BASF Batalkan Investasi Proyek Baterai Rp 42 Triliun, Ini Kata BKPM
Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) buka suara terkait batalnya investasi BASF dan Eramet di sektor hilirisasi baterai kendaraan listrik senilai US$ 2,6 Miliar atau Rp 42,7 triliun.
Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan, mengatakan pembatalan rencana investasi pemurnian nikel di Maluku Utara tersebut itu tidak menurunkan minat investor asing untuk menanamkan modalnya pada sektor hilirisasi di tanah air.
Ichwan mengatakan, pengembangan investasi, khususnya di sektor hilirisasi baterai kendaraan listrik masih sangat potensial di pasar domestik walaupun perusahaan tersebut membatalkan investasinya.
"Apalagi, baru-baru saja Indonesia mendapat peringkat 27 pada World Competitiveness Ranking (WCR) 2024. Top 3 terbaik di wilayah ASEAN,” kata dia, di Jakarta, Kamis (27/6).
Dia mengatakan, kebijakan hilirisasi Indonesia masih memiliki daya tarik tinggi di mata para investor asing. Bahkan menurutnya beberapa proyek hilirisasi di tanah air sudah memasuki tahapan realisasi.
Proyek tersebut misalnya smelter tembaga terbesar di dunia milik PT Freeport Indonesia di Gresik, Jawa Timur yang resmi beroperasi mulai 27 Juni 2024. Selanjutnya produksi massal baterai kendaraan listrik pertama di Indonesia yang akan dilakukan oleh PT Hyundai LG Indonesia (HLI) Green Power di Karawang, Jawa Barat pada Juli 2024, serta akan diresmikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Selain itu, ia menyampaikan pembatalan bisnis itu merupakan keputusan bisnis yang dilakukan oleh BASF dan Eramet yang berdasarkan pada perubahan kondisi pasar nikel, khususnya yang menjadi suplai bahan baku baterai kendaraan listrik. Dengan demikian, perusahaan ini memutuskan tidak ada lagi kebutuhan untuk melakukan investasi suplai material baterai kendaraan listrik.
"Kami dari awal terus mengawal rencana investasi ini. Namun pada perjalanannya, perusahaan beralih fokus, sehingga pada akhirnya mengeluarkan keputusan bisnis membatalkan rencana investasi proyek Sonic Bay ini,” katanya.
Alasan BASF Hengkang dari Proyek Baterai
Sebelumnya, perusahaan kimia asal Jerman, BASF, telah mengumumkan untuk keluar dari proyek pabrik bahan baku baterai kendaraan listrik yang merupakan hasil kongsi dengan perusahaan metalurgi asal Prancis, Eramet SA. Perusahaan menyebut pasar nikel global telah berubah signifikan sejak proyek tersebut dimulai sehingga perusahaan menilai tidak perlu lagi melakukan investasi besar di proyek tersebut.
Sementara itu, Manajemen BASF menyatakan bahwa perusahaan tidak akan mengevaluasi lebih lanjut potensi investasi di kompleks pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay, Halmahera Tengah, Indonesia.
Pada 2020, BASF dan Eramet, menandatangani perjanjian untuk menilai potensi proyek baterai kendaraan listrik, dengan nilai investasi yang diperkirakan mencapai US$2,6 miliar atau Rp 42,72 triliun.
"Setelah melakukan evaluasi menyeluruh, kami menyimpulkan bahwa kami tidak akan melaksanakan proyek pemurnian nikel-kobalt di Weda Bay. Sejak dimulainya proyek tersebut, pasar nikel global telah berubah secara signifikan," kata Anup Kothari, Anggota Dewan Direktur Eksekutif BASF SE, dalam penjelasan di situs perusahaan, dikutip Kamis (27/6).
Kothari menyebut opsi pasokan telah berevolusi, termasuk untuk bahan baku baterai yang dibutuhkan BASF. Oleh karena itu, BASF menilai tidak perlu lagi melakukan investasi yang begitu besar untuk memastikan pasokan logam yang tangguh untuk bisnis bahan baterainya.
Perusahaan akan menghentikan semua kegiatan evaluasi dan negosiasi yang sedang berlangsung untuk proyek di Weda Bay.
"Pasokan bahan baku penting yang aman, bertanggung jawab, dan berkelanjutan untuk produksi bahan aktif katoda prekursor, yang mungkin juga berasal dari Indonesia, tetap penting untuk pengembangan masa depan bisnis bahan baterai kami," kata Dr. Daniel Schönfelder, Presiden divisi Katalis BASF.