Brazil Usulkan Pajak Crazy Rich Dunia Sebesar 2% untuk Bantu Atasi Krisis Iklim
Brazil mengusulkan penerapan pajak bagi orang-orang super kaya atau crazy rich di dunia sebesar 2% untuk membiayai upaya mengatasi krisis iklim.
Usulan tersebut disampaikan dalam pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral negara anggota G20 di Rio de Janeiro. Dalam pertemuan tersebut tidak ada yang menentang usulan Brazil.
Jika pajak ini diterapkan maka berpotensi menghasilkan hingga US$ 250 miliar per tahun yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis iklim, kemiskinan, dan kesenjangan. Pajak tersebut hanya akan mempengaruhi sejumlah kecil keluarga miliarder.
Pengenaan pajak kekayaan sebesar 2% kepada orang yang memiliki aset lebih dari US$ 1 miliar menjadi agenda utama dalam pertemuan tersebut. Sekretaris Nasional Perubahan Iklim Brasil Ana Toni memastikan usulan tersebut tidak menimbulkan penentangan.
"Perasaan kami adalah secara moral, tidak ada yang menentang. Namun, tingkat dukungan dari beberapa negara lebih besar daripada yang lain," kata Toni dikutip dari The Guardian pada Senin (29/7).
Meski tidak ada yang menentang, bukan berarti usulan pajak tersebut akan disetujui. Banyak pemerintah secara pribadi skeptis namun tidak mau mengkritik secara terbuka rencana yang akan memangkas sejumlah kecil kekayaan yang terkumpul dengan cepat dari segelintir orang terkaya untuk mengatasi darurat iklim global.
Menteri Keuangan AS, Janet Yellen mengatakan kepada wartawan bahwa Amerika Serikat tidak melihat perlunya inisiatif global. "Orang-orang tidak tertarik pada pajak global," ujar Yellen.
Dipastikan hanya sekitar 100 keluarga di seluruh dunia yang akan terpengaruh oleh usulan pungutan pajak sebesar 2% tersebut. Sebanyak 1% orang terkaya di dunia telah menambah kekayaan mereka sebesar US$ 42 triliun dalam satu dekade terakhir.
Beberapa ekonom berpendapat, gagasan tersebut lebih mungkin diterima jika hasilnya digunakan untuk mengatasi krisis iklim daripada digunakan untuk mengatasi kesenjangan global. Pakar lain mengatakan setidaknya sebagian dari uang tersebut harus digunakan untuk pengentasan kemiskinan.
Menteri Energi Inggris Ed Miliband menyebut kontribusi bantuan iklim Inggris sebesar 11,6 miliar poundsterling untuk negara-negara berkembang pada 2026 akan tetap berlaku. Padahal pemerintahan sebelumnya telah mempertimbangkan untuk membatalkannya.
Kelompok masyarakat sipil di belahan bumi selatan menyambut baik pengumumannya. Hanya saja Toni mengatakan Inggris harus melangkah lebih jauh dan menyajikan rencana baru yang lebih ketat untuk memangkas emisi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani yang hadir dalam pertemuan G20 di Brasil tersebut juga menekankan pentingnya kerja sama global untuk mengatasi berbagai tantangan ekonomi dan iklim yang semakin kompleks.
Diperlukan strategi terintegrasi untuk meningkatkan pembiayaan pembangunan guna mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan tepat waktu dan berdampak.
"Tantangan terbesar kita adalah penggunaan energi dan lahan hutan yang paling mahal dalam pembiayaan. Kita perlu terus membangun proyek-proyek energi, namun dengan emisi karbon yang lebih rendah," kata Sri Mulyani.
Dalam sesi perpajakan internasional, Sri Mulyani menyoroti pentingnya mencapai kesepakatan pada Pilar Satu untuk meningkatkan keadilan pajak bagi negara-negara pasar. Gagalnya pencapaian kesepakatan multilateral dapat menyebabkan tindakan unilateral yang berpotensi mengakibatkan pajak berganda dan merugikan ekonomi global.
"Perlunya kebijakan pajak progresif yang efektif untuk mengurangi ketidaksetaraan pendapatan dan kekayaan, serta pentingnya kerjasama internasional dalam pertukaran informasi dan pembangunan kapasitas untuk mengatasi perencanaan pajak agresif oleh individu-individu berpenghasilan tinggi," ujar menkeu.