Kejelian Dr. Boen Mengantarkan Kalbe Farma Merajai Industri Farmasi

Rezza Aji Pratama
3 September 2021, 07:15
farmasi, kalbe farma, boenjamin setiawan, emiten:KLBF
kalbe farma
Gedung Kalbe Farma

Dr. Boen muda yang baru pulang dari Amerika Serikat melihat peluang besar di bisnis farmasi. Dengan dibantu lima orang saudaranya; Khouw Lip Tjoen, Khouw Lip Hiang, Khouw Lip Swan, Maria Karmila, dan F. Bing Aryanto, ia menggunakan sepetak garasi tua untuk operasional perusahaan. 

Latar belakang keilmuan yang ia miliki membantu Dr. Boen merancang strategi bisnis di awal berdirinya Kalbe. Ia jeli melihat kebutuhan obat murah di Indonesia. Sebagai akademisi, Dr. Boen menyadari betul pentingnya riset di industri farmasi. Sesuatu yang masih sangat mewah di Indonesia era 1960-an. Saat ini riset dan pengembangan menjadi tulang punggung kesuksesan Kalbe Farma. 

Lima tahun setelah resmi berdiri, Kalbe akhirnya membangun pabrik pertamanya di Pulomas, Jakarta Timur. Lini bisnisnya mulai merentang luas. Mulai dari obat-obatan, baik obat resep maupun obat bebas (over the counter/OTC), makanan sehat, hingga distribusi.

Salah satu terobosan penting Kalbe terjadi pada 1985 ketika perusahaan mengakuisisi PT Bintang Toedjoe. Perusahaan ini langsung melejit dengan berbagai produk seperti Puyer 16 yang digandrungi masyarakat. Extrajoss, salah satu produk legendaris Bintang Toedjoe diluncurkan pada 14 Agustus 1994 dan langsung merajai pasar minuman berenergi.

Konon, kata ‘joss’ diambil dari dialek orang Jawa Timuran yang terkenal blak-blakan. Tak heran jika peluncuran pertama Extrajoss dilakukan di Malang dan Surabaya. Strategi pemasaran ini terbukti sukses besar. Saat awal-awal diluncurkan, Ekstrajoss laris manis hingga sempat terjadi kelangkaan stok. 

Pada era 1990-an, produk-produk OTC Kalbe tenar di pasar. Merek-merek seperti Komix, Mixagrip, dan Promag sudah diakrabi masyarakat. Ketika perusahaan melantai bursa pada 30 Juli 1991, saham Kalbe pun diburu investor. Kala itu Kalbe melepas 10 juta lembar saham seharga Rp7.800 per lembar dan sukses meraup Rp78 miliar. 

Kalbe Farma Dihantam Krisis

Perjalanan Kalbe Farma bukan tanpa hambatan. Krisis ekonomi 1998 memberikan dampak besar bagi perusahaan. Industri yang sangat bergantung pada impor bahan baku obat ini sangat terpukul dengan jatuhnya nilai tukar rupiah. Belum lagi tagihan utang luar negeri yang ikut menggunung akibat kenaikan nilai tukar. 

Dilansir dari Kontan, Kalbe harus melakukan serangkaian efisiensi demi menyelamatkan 1.000 lebih karyawannya. Perusahaan misalnya mulai mengatur penggunaan kertas, air, dan pendingin ruangan. Soal utang, Kalbe mengundang 35 bank guna memaparkan kondisi keuangan dan meminta restrukturisasi. “Tak ada pilihan, kami harus bertahan agar hidup," ujar Presiden Direktur Kalbe Farma Vidjongtius. 

Konsolidasi juga dilakukan dengan melakukan divestasi terhadap beberapa anak usaha yang tidak produktif. Sebagai gantinya, perusahaan memperkuat bisnis inti dengan mengakuisisi produk obat batuk Woods dan melanjutkan ekspansi pabrik susu Kalbe Morinaga. Serangkaian strategi ini terbukti ampuh. Kalbe lolos dari lubang jarum krisis dan mulai menjadi pemimpin pasar farmasi di Indonesia. 

Pada 2015, Kalbe kembali menghadapi tantangan serius. Kali ini datangnya dari regulator dan kepercayaan masyarakat. Ini bermula dari kasus meninggalnya dua orang pasien Rumah Sakit Siloam Tangerang pada 12 Februari 2015. Pihak rumah sakit mengklaim obat anestesi yang diproduksi Kalbe Farma; Buvanest Spinal 0,5% Heavy 4ml dan Asam Tranexamat Generik 500 mg/Amp 5 ml menjadi penyebabnya. 

Kasus ini menyita perhatian masyarakat luas. Regulator bergerak cepat dengan memerintahkan Kalbe menarik kedua obat tersebut. Lini produksi pabrik perusahaan juga sempat dihentikan menyusul serangkaian investigasi yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Secara bisnis, penarikan kedua obat bius ini sebenarnya tidak terlalu berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Kontribusi keduanya sangat kecil terhadap pendapatan konsolidasi. Namun, kepercayaan investor dipertaruhkan.

Saham Kalbe langsung terkoreksi dalam beberapa hari. Belakangan, investigasi BPOM menyimpulkan Kalbe Farma lalai memberikan label terhadap obat tersebut. Kalbe menerima keputusan tersebut dan melanjutkan bisnis seperti biasa.

Fundamental perusahaan yang kokoh terbukti ampuh menahan sentimen pasar. Perlahan, saham Kalbe kembali bergeliat. Kinerja pendapatan dan laba juga terus membaik. Saat ini, Kalbe Farma memiliki empat divisi bisnis; obat resep, produk kesehatan, nutrisi, serta distribusi dan logistik. Sebagian besar saham Kalbe (42,73 %) dimiliki oleh masyarakat. Adapun sisanya dipegang oleh enam perusahaan berbeda dengan kepemilikan 9 - 10 %. 

Dengan kapitalisasi pasar di atas Rp 70 triliun, Kalbe Farma kini menjadi perusahaan farmasi terbesar di Asia Tenggara. Kinerja moncer perusahaan mengantarkan sang pendiri Boenjamin Setiawan menjadi orang terkaya nomor 8 versi Majalah Forbes dengan total kekayaan US$4,1 miliar pada 2020. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...