Langkah Jahja Setiaatmadja Membawa Saham BCA Lebih Merakyat
Tahun ini PT Bank Central Asia Tbk alias BCA berencana memecah harga saham yang beredar alias stock split. Tujuannya agar harga saham lebih merakyat dan bisa dimiliki investor ritel, khususnya milenial.
Aksi korporasi pecah saham ini rencananya menggunakan rasio 1:5. Artinya, investor memungkinkan membeli saham kode emiten BBCA di kisaran Rp 6.000 per lembar saham. Angka tersebut jauh lebih murah dibandingkan harga saham sekarang di kisaran Rp 32.200 per lembar. Dengan begitu, investor bisa membeli saham BBCA hanya dengan Rp 600.000 per lot (100 lembar saham) dari harga saat ini Rp 3,22 juta per lot.
“Melalui aksi korporasi stock split ini, kami berharap harga saham BBCA akan lebih terjangkau bagi para investor ritel, utamanya bagi investor muda yang saat ini aktif meramaikan bursa," kata Direktur Utama BCA Jahja Setiaatmadja dalam keterangan resminya pada akhir Juli lalu.
Proses stock split akan mengikuti ketentuan berlaku dan membutuhkan persetujuan pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB). Itu rencananya akan diselenggarakan pada 23 September 2021.
Setelah memperoleh persetujuan dari para pemegang saham, direksi BCA akan berkoordinasi dengan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memproses stock split, dan diperkirakan berlangsung Oktober tahun ini.
Nilai nominal per unit saham BBCA saat ini adalah Rp62,50, sedangkan nilai nominal per unit saham BBCA setelah stock split akan menjadi sebesar Rp12,5. Dengan aksi korporasi ini, total jumlah saham BBCA akan membesar dari 24,65 miliar saham menjadi 123,27 miliar saham.
Kinerja Positif BBCA
Bank BCA membukukan laba bersih Rp 14,5 triliun sepanjang semester pertama 2021. Keuntungan bank milik Grup Djarum tersebut melonjak 18,1 % dibanding periode sama tahun lalu Rp 12,28 triliun.
Jahja mengatakan, kenaikan signifikan laba bersih pada enam bulan pertama 2021 karena basis perbandingan laba bersih yang lebih rendah pada semester satu 2020. Hal ini dipengaruhi oleh tingginya tingkat biaya kredit atau cost of credit saat awal pandemi Covid-19 pada triwulan kedua tahun lalu.
Biaya cadangan pada semester pertama 2020 tercatat 32,4%, lebih besar dibandingkan periode sama tahun ini. Emiten berkode BBCA ini membukukan pertumbuhan positif pada pendapatan bunga bersih sebesar 3,8% dari sekitar Rp 27,26 triliun menjadi Rp 28,3 triliun pada semester satu 2021. Di sisi lain, pendapatan non-bunga turun 1,2% dari sekitar Rp 10,32 triliun menjadi Rp 10,2 triliun.
Peran Sentral Jahja dalam Perjalanan BCA
Berdasarkan data BEI, Bank BCA tercatat sebagai perusahaan dengan kapitalisasi pasar terbesar di bursa Tanah Air saat ini, dengan nilai Rp 802 triliun per Rabu (8/9). Di balik pencapaian gemilang BBCA, ada sosok yang menahkodai jalannya perusahaan, yakni Jahja Setiaatmadja yang sudah menjabat sebagai Presiden Direktur lebih dari sepuluh tahun.
Pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan Maret lalu, pria yang bakal bertambah usia menjadi 66 tahun pada 14 September nanti, kembali dipercaya sebagai Dirut BBCA hingga 2026.
Jahja merupakan anak tunggal dari pasangan Tio Keng Soen dan Tan Giok Kiem. Dia lahir di Jakarta pada 14 September 1955 dengan nama Tio Sie Kian, kemudian diubah menjadi Jahja Setiaatmadja ketika usianya menginjak sebelas tahun.
Jahja memperoleh gelar sarjana bidang Akuntansi di Universitas Indonesia (UI) pada 1982. Cita-citanya adalah masuk ke jurusan kedokteran, namun harus tersandung biaya yang tinggi.
Sebelum menjabat sebagai Dirut BCA, Jahja memulai karirnya di 1979 sebagai Akuntan di Price Waterhouse. Bukunya, Sang Dirigen: Perjalanan Jahja Setiaatmadja hingga Menjadi CEO BCA bercerita biografinya. Di sana, dia mengaku penghasilan sebagai akuntan saat itu sangat kecil, sehingga mencari penghasilan tambahan dengan bekerja di rental kaset video milik temannya.
Jalan karier Jahja mulai terbuka saat bekerja di rental kaset dan bertemu Direktur PT Kalbe Farma, Rudy Capelle. Singkat cerita, Jahja akhirnya pindah ke Kalbe Farma pada 1980 sebagai akuntan, dengan catatan karir yang menanjak menjadi Senior Manager, kemudian pada usia 33 tahun diangkan sebagai Direktur Keuangan perusahaan farmasi tersebut.
Selanjutnya, pada 1989 Jahja menerima tawaran sebagai Direktur Keuangan perusahaan otomotif PT Indomobil, yang merupakan anak usaha dari Grup Salim. Tak bertahan lama, pada 1990 Jahja yang saat itu menjabat sebagai Direktur Indomobil, kemudian bergeser ke Bank BCA dan harus turun pangkat sebagai Wakil Kepala Divisi.
Krisis ekonomi yang terjadi pada 1998 membuat mayoritas saham dari Grup Salim dipegang oleh pemerintah. Sampai pada 1999, pemerintah kemudian menunjuk tim direksi BCA dan mempromosikan Jahja sebagai Direktur BCA hingga tahun 2005.
Pada 2002, pemerintah menjual saham BCA ke Grup Djarum dan Farallon Capital. Selanjutnya, pada 2005 Jahja dipromosikan sebagai Wakil Presiden Direktur BCA hingga 2011. Karier terus meningkat, sampai akhirnya pada 2011 Jahja dipilih menjadi Presiden Direktur BCA menggantikan Djohan Emir Setioso yang memilih untuk menjadi Komisaris Utama BCA.
Penyumbang bahan: Nada Naurah (Magang)