Investor Asing Borong Saham Rp 800 Miliar, IHSG Naik 0,52%
Indeks harga saham gabungan (IHSG) menutup perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (11/1), dengan kinerja positif. IHSG naik 0,52% ke posisi 6.361,46, salah satunya berkat investor asing yang memborong saham di pasar hingga Rp 812,66 miliar.
Kinerja IHSG senada dengan bursa-bursa utama di Asia, kecuali bursa PSEi Filipina yang terkoreksi hingga 1,02%. Sementara itu bursa berkinerja terbaik hari ini yaitu indeks Nikkei 225 yang terangkat 0,97%, kemudian indeks Shanghai dengan kenaikan 0,74%, Kospi Korea naik 0,60%, Hang Seng naik 0,55%.
Strait Times Index Singapura juga membukukan kinerja positif dengan kenaikan 0,48% dan terakhir indeks KLCI Malaysia yang mampu kembali ke zona hijau dengan kenaikan 0,26%, setelah sempat terperosok ke zona merah siang ini.
Transaksi saham di pasar sepanjang hari ini mencapai Rp 8,45 triliun, sedangkan volume perdagangan saham mencapai 9,99 miliar saham. Harga 258 saham terangkat naik mengikuti arus IHSG, 157 saham terkoreksi dan 140 saham stagnan.
(Baca: Dana Asing Berdatangan, IHSG Sesi I Naik 0,19%)
Saham-saham yang menjadi buruan asing di antaranya saham PT TElekomunikasi Indonesia Tbk. (TLKM) yang hari ini diborong hingga Rp 220,6 miliar oleh investor asing, kemudian saham tiga bank BUKU 4 yaitu Bank Mandiri Tbk. senilai Rp 146 miliar, Bank Central Asia Tbk. (BBCA) Rp 135,5 miliar, dan Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) Rp 134 miliar.
"Faktor penggerak IHSG hari ini penguatan rupiah dan net buy asing. Sebenarnya kita sudah masuk uptrend sejak Oktober," kata Analis Panin Sekuritas William Hartanto, kepada Katadata.co.id Jumat (11/1). Dia menilai, investor asing kini semakin yakin dengan kondisi pasar modal Indonesia.
Analis Binaartha Sekuritas, Muhammad Nafan Aji, menilai, kondisi fundamental ekonomi Indonesia sudah semakin baik. Hal itu tercermin dari beberapa indikator, seperti naiknya cadangan devisa Indonesia pada Desember 2018 sebesar US$ 3,5 miliar, serta konsumsi domestik yang membaik berdasarkan data penjualan eceran November 2018 yang naik 3,4% yoy, dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya naik 2,9%.
Sedangkan secara eksternal, optimisme pelaku pasar bahwa negosiasi perdagangan bilateral antara Amerika Serikat dan Tiongkok sudah menghasilkan kesepakatan yang komprehensif, serta hasil rapat Federal Open Market Committee (FOMC) the Fed menunjukkan bahwa the Fed dapat menahan laju kenaikan suku bunga di masa depan.
"Hal ini diharapkan mampu meredakan sentimen negatif perang dagang. FOMC memberikan efek "dovish" bagi dolar AS sehingga kineraj rupiah terapresiasi," jelas Nafan.
(Baca: Rupiah Bertengger di Kisaran 14.000/US$, BI Nilai Masih Terlalu Murah)