IHSG Menguat Pasca Kesepakatan Dagang AS-Cina, Bisakah Tembus 7.000?


Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 2,15% atau 147,08 poin, mencapai level 6.979 pada perdagangan Rabu sore (14/5). Kenaikan IHSG ini dipicu oleh kesepakatan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina yang sepakat untuk menurunkan tarif perdagangan masing-masing sebesar 115 poin selama 90 hari.
Selain itu, AS juga menetapkan penurunan tarif terhadap barang-barang Cina menjadi 30% mulai 14 Mei hingga 12 Agustus 2025. Sementara Cina mengenakan bea masuk 10% untuk barang impor dari AS.
Bisakah IHSG Tembus 7.000?
Customer Engagement & Market Analyst Department Head BRI Danareksa Sekuritas Chory Agung Ramdhani menilai peluang IHSG untuk menembus level 7.000 dalam waktu dekat masih terbuka, meskipun tak berjalan mulus. Chory mengidentifikasi beberapa katalis utama yang mendukung potensi kenaikan IHSG:
1. Gencatan Dagang AS–Cina
Meredanya ketegangan perdagangan antara AS dan Cina memperbaiki sentimen global. Penurunan sementara tarif ini memicu pergeseran ke aset berisiko (risk-on sentiment), yang mendorong penguatan bursa saham AS dan kenaikan indeks Dolar (DXY). Dampaknya, pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, mendapat dorongan positif.
2. Stabilitas Yield SBN
Meski yield obligasi AS (UST) naik, yield Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun justru turun, mencerminkan kepercayaan pasar terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
Selain itu, aliran dana asing ke pasar obligasi Indonesia mencapai Rp 7,16 triliun secara month to date (mtd). Hal ini yang berpotensi memberikan dukungan likuiditas ke pasar saham.
3. Valuasi IHSG yang Kompetitif
Dengan rasio Price to Earnings (PE) 12 bulan berada di kisaran 11,5 kali, IHSG menjadi menarik jika dibandingkan dengan pasar negara berkembang lainnya. Hal ini diharapkan bisa menarik investor institusional global yang mencari alternatif investasi dengan risiko terukur.
Chory juga menambahkan, sektor-sektor tertentu, seperti logam (terutama nikel), konsumer, dan ritel, menunjukkan kinerja yang solid. "Jika rotasi sektor meluas, IHSG berpotensi menembus level psikologis 7.000," ujarnya kepada Katadata.co.id, Rabu (14/5).
Tantangan di Balik Kenaikan IHSG
Namun, Chory juga menyoroti sejumlah faktor yang masih membayangi pergerakan IHSG dalam jangka pendek. Ia mencatat laporan kinerja keuangan kuartal pertama 2025 menunjukkan kontraksi laba bersih sebesar -1,3% year-on-year (yoy), terutama dari sektor-sektor utama seperti telekomunikasi dan konsumer.
Selain itu, arus keluar dana asing mencapai Rp 1,7 triliun pada pekan pertama Mei 2025, dengan total outflow year-to-date mencapai Rp 36,2 triliun. Hal ini menunjukkan sikap hati-hati investor global terhadap prospek pasar saham Indonesia dalam jangka pendek.
Ke depannya, Chory memproyeksikan perhatian investor akan berfokus pada data neraca perdagangan April yang dirilis pada 15 Mei 2025 dan keputusan suku bunga Bank Indonesia yang diumumkan minggu depan. Data ini akan menjadi petunjuk penting bagi arah pasar selanjutnya.
“Jika sentimen eksternal tetap membaik dan data neraca perdagangan mendukung, serta BI mengambil sikap akomodatif, IHSG berpotensi menembus 7.000, meskipun kemungkinan besar itu terjadi pada paruh kedua bulan Mei,” kata Chory.
Kesepakatan Dagang AS-Cina Mendorong Pasar Global
Head of Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata mengatakan kesepakatan dagang AS–Cina memang bersifat sementara. Namun, kesepakatan ini tetap memberi dorongan positif bagi pasar global.
Meskipun demikian, Liza menilai kesepakatan ini belum menyentuh akar permasalahan struktural, yang membuat kenaikan IHSG kemungkinan masih terbatas.
Secara teknikal, ia memproyeksikan IHSG masih rentan terkoreksi, terutama saat mendekati area resistance di kisaran puncak sebelumnya, yaitu antara 6.970 hingga level psikologis 7.000.
“Jika level krusial ini mampu ditembus, IHSG berpotensi menuju target sekitar 7.100-7.150 sampai bulan ini berakhir,” ujar Liza dalam risetnya, Rabu (14/5).