Pembatasan Transaksi Tunai Akan Tingkatkan Pembayaran Pajak
Direktur Jenderal Pajak Robert Pakpahan menyambut positif atas dibahasnya draf Rancangan Undang-Undang Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Bila diterapkan, dia memprediksi aturan tersebut akan mendorong tingkat kepatuhan dalam pembayaran perpajakan.
Selama ini, banyak aktivitas ekonomi informal tidak terungkap karena minimnya informasi mengenainya. Salah satu penyebabnya lantaran banyak transaksi masih dilakukan secara tunai sehingga tidak terrekam. Akibatnya, petugas pajak pun susah menelisiknya. (Baca: Cegah Korupsi, KPK Usul Transaksi Uang Tunai Dibatasi Rp 25 Juta).
Dengan pembatasan uang kartal, kata Robert, pemerintah lebih mudah melacak transaksi informal. “Ketentuan ini bagus untuk mengurangi penggunaan uang secara informal. Mudah-mudahan bisa meningkatkan kepatuhan perpajakan,” kata Robert di kantornya, Rabu (18/4/2018).
Bank sentral juga mendorong penerapan aturan tersebut. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan pembatasan uang kartal akan menjaga tata kelola dan penegakan hukum yang lebih baik. Walau demikian, dalam sistem pembayaran, penggunaan uang secara tunai dalam jumlah tertentu tetap tidak bermasalah. “Kalau mau lebih efisien tentu lebih baik secara nontunai,” kata Agus di Gedung Mahkamah Agung.
Dia memahami perlunya batasan penggunaan uang kartal. Namun, jumlah batasan uang kartal masih didiskusikan dengan beberapa pihak. Selain BI, pembahasan aturan ini melibatkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), dan beberapa kementerian dan lembaga yang terkait hukum.
Sebelumnya, PPATK mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah segera membahas dan mengesahkan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. RUU ini dianggap penting untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Adapun PPATK mengusulkan pembatasan transaksi uang tunai sebesar Rp 100 juta per hari.
(Baca juga: PPATK dan KPK Desak RUU Pembatasan Transaksi Uang Tunai Disahkan).
Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin mengatakan, selama ini para pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang kerap menghindari penggunaan transaksi nontunai dan memilih menggunakan uang kartal. Para pelaku tindak pidana menghindari transaksi nontunai karena lebih mudah dilacak oleh otoritas berwenang seperti PPATK.
Sebaliknya penggunaan uang kartal menyulitkan pelacakan asal-usul sumber dana dan memutus pelacakan aliran dana kepada para penerima manfaat (beneficial owner). “Terdapat kecenderungan para pelaku tindak pidana menggunakan transaksi tunai dengan uang kartal untuk memutus mata rantai transaksi sehingga sulit dilacak,” kata Kiagus. (Lihat pula: Ombudsman Bakal Panggil BI Terkait Biaya Transaksi Nontunai).
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengatakan draf RUU tersebut sudah masuk tahap akhir sebelum ditandatangani para menteri terkait. “Akan kami dorong dan nanti Kepala PPATK bisa sampaikan ke Pak Presiden untuk dikirim ke DPR,” kata Yasonna.