Pembukaan Data Nasabah Bank bagi Pajak Akan Dipermudah
KATADATA - Untuk mendorong penerimaan pajak makin besar, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro berencana mempemudah akses perbankan bagi Direktorat Jenderal Pajak. Langkah ini akan diatur dalam revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Di sisi lain, Kementerian Keuangan juga mengkaji kebijakan yang memberi perlindungan kepada pihak-pihak yang memberikan akses terhadap data rahasia wajib pajak. “Kalau KUP, intinya kami dorong dibuka akses perbankan untuk pajak. Supaya sama dengan revisi Undang-Undang Perbankan,” kata Bambang di kantornya, Senin malam, 7 Maret 2016.
Tahun ini, pemerintah mentargetkan penerimaan pajak, termasuk minyak dan gas (migas), sebesar Rp 1.360,2 triliun. Per Februari, nilainya baru mencapai sembilan persen atau sekitar Rp 122,4 triliun. Angka ini lebih kecil dari periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai Rp 125 triliun. (Baca: Dirjen Pajak Berharap Data Nasabah Bank Bukan Lagi Rahasia).
Sebelumnya, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Irawan mengatakan akan ada satu pasal dalam revisi Undang-Undang KUP yang mengatur penghapusan sanksi pidana bagi pemberi data rahasia wajib pajak yang diatur dalam UU lain. Terkait rencana ini, Direktorat Pajak sudah berkoordinasi dengan Bank Indonesia, dengan harapan kebijakan serupa diberlakukan dalam Undang-Undang Perbankan. “Idealnya di UU Perbankan hilangkan kerahasiaan khusus perpajakan, nanti UU KUP mengikuti,” ujar Irawan.
Selanjutnya, Kementerian Keuangan juga mengkaji kemudahan perizinan membuka data nasabah di perbankan. Selama ini Direktur Jenderal Pajak harus mengirimkan surat ke Menteri Keuangan, setelah itu otoritas fiskal tersebut meminta persetujuan Gubernur Bank Indonesia atau Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. Ke depan, rantai perizinan ini dipangkas. Dari Dirjen Pajak dibawa langsung ke Gubernur BI atau Ketua Dewan Komisioner OJK.
“Ada ratusan bahkan mendekati ribuan (permintaan DJP untuk buka data nasabah). Cuma tahapan di internal kami saja bisa sebulan. Surat untuk pembukaan rekening itu bisa empat sampai lima apply,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Mekar Satria Utama. (Baca juga: Tekan Suku Bunga, Bank BUMN Lakukan Efisiensi).
Kebijakan ini diharapkan rampung pada 2017 seiring dengan berlakunya pertukaran data secara otomatis atau Automatic Exchange of Information mengenai pajak. Setelah itu, Direktorat Pajak akan memisahka diri dari Kementerian Keuangan dan disebut dengan Badan Otonomi Pajak, yang diharapkan beroperasi per 1 Januari 2018.
Namun Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, kebijakan tersebut akan sulit diterapkan. Undang-Undang KUP tidak bisa berlaku bagi hukum yang bersifat khusus atau lex specialis. “Itu keliru, buktinya pajak dengan perbankan saja nggak bisa. Bagaimana yang lain?” kata dia.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) Gunadi. Menurut dia, kebijakan tersebut justru akan berisiko pada keluarnya Dana Pihak Ketiga dari perbankan. (Lihat pula: Likuiditas Mengetat, Bank Masih Sulit Pangkas Bunga).
Tetapi pakar perpajakan Universitas Indonesia Darussalam menjelaskan hasil riset mengenai pentingnya membuka data perbankan untuk mendorong kepatuhan wajib pajak di 37 negara. Dari semua negara tersebut, 13 di antaranya mengadopsi pembukaan data nasabah secara otomatis. Bahkan tujuh di antaranya memberi kewenangan membuka save deposit box.
Maka menurut dia kebijakan membuka data nasabah itu mungkin saja. Asal diatur pihak atau instansi yang berwenang membuka, dan kepastian data tersebut tidak dibocorkan kepada pihak lain. “Dan ketika DJP meminta informasi itu harus jelas tujuannya apa,” ujar dia.
Tahun lalu, sebenarnya, pemerintah sudah mencoba membuka data nasabah bank. Direktur Jenderal Pajak bahkan telah mengeluarkan Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-01/PJ/2015 tentang Penyerahan Bukti Potong Pajak atas Bunga Deposito. Aturan yang terbit pada 26 Januari 2015 ini mulai berlaku pada 1 Maret 2015. Namun, baru dua pekan diterapkan, Menteri Keuangan memutuskan untuk mencabutnya, dengan alasan tidak ada dasar hukum yang kuat.
Para pelaku perbankan pun sempat memprotes karena aparat pajak bisa mengetahui nilai simpanan deposito milik nasabah. Lantaran merasa tak nyaman, para pemilik deposito bisa mencabut dana simpanannya dan menyimpannya di perbankan luar negeri. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan pun memprotes aturan ini karena dinilai bertolak belakang dengan Undang-Undang Perbankan, yang menegaskan data nasabah bersifat rahasia, kecuali untuk kepentingan pemeriksaan, penyidikan dan bukti permulaan.