Jalan Panjang Eximbank Indonesia Tekan NPL yang Tembus 23%
Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) atau dikenal dengan nama Indonesia Eximbank mengajukan tambahan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk tahun depan Rp 5 triliun. Bank tersebut tercatat memiliki rasio kredit seret alias non-performing loan (NPL) yang sangat tinggi.
Pada 2019 saja, NPL-nya mencapai 23,4% atau senilai Rp 22,87 triliun dengan rasio pencadangan hanya 49%. Dalam laporan tahunan, manajemen mengatakan akibat perekonomian dunia dan Indonesia yang mengalami perlambatan di tahun 2019, LPEI harus menghadapi tantangan berat dalam menjaga kualitas.
Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan, NPL lembaga pembiayaan ekspor impor yang tinggi, tidak bisa dibandingkan dengan NPL industri perbankan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NPL industri perbankan per September 2020 di level 3,15%.
"Karena perannya (LPEI) beda (dengan bank), undang-undangnya juga beda. Justru LPEI memberikan fasilitas membiayai yang sulit mendapatkan pembiayaan dari bank," kata politisi Partai Golkar tersebut pada saat yang sama.
Masalahnya rasio NPL tahun lalu jauh lebih tinggi dibandingkan enam tahun sebelumnya yang tercatat hanya 2,26%. Sejak lima tahun belakangan, NPL Indonesia Eximbank terus naik hingga tahun lalu.
Ketua Dewan Direktur LPEI Daniel James Rompas mengatakan akan terus melakukan perbaikan kualitas pembiayaan dan menurunkan NPL. Tahun ini, LPEI menargetkan rasio NPL tidak jauh dari tahun lalu, yakni di level 23,3% atau senilai Rp 21,7 triliun dengan rasio pencadangan 79%.
Tahun depan, LPEI bakal menekan kembali NPL hingga ditargetkan bisa ada di level 19% atau senilai Rp 18,41 triliun dengan rasio pencadangan 87%. Rencana ini terus dilakukan hingga pada 2024 mendatang, NPL ditargetkan mampu berada di level 7,3% atau senilai Rp 7,67 triliun dengan rasio pencadangan mencapai 213%.
"NPL merupakan fokus dari LPEI saat ini. Kami membuat satu rencana kerja ke depan. Kami proyeksi setiap tahun kami menurunkan NPL kurang lebih Rp 3 triliun," kata Daniel dalam rapat bersama Komisi XI DPR di gedung parlemen, Jakarta, Rabu (18/11).
Daniel juga menjelaskan strategi yang dijalankan oleh LPEI dalam pengelolaan dan perbaikan NPL ini di antaranya melakukan program restrukturisasi, baik yang terkait dengan Covid-19 maupun yang tidak. Lalu, melakukan penguatan struktur internal terkait penanganan potensi NPL dan penyelesaian NPL.
Manajemen LPEI pun terus melakukan penguatan manajemen risiko dan fungsi kepatuhan agar mampu menekan angka NPL tiap tahunnya. Selain itu, pembentukan SPV yang khusus menangani penyelsaian NPL juga menjadi salah satu langkah yang ditempuh, di sampung juga dengan melakukan hapus buku.
"LPEI terus melakukan perbaikan internal secara berkelanjutan dengan melakukan restrukturisasi dan efisiensi. Sembari tetap menjalankan bisnis secara selektif dan penguatan proses internal," kata Daniel menambahkan.
LPEI memperkirakan total aset perusahaan hingga akhir 2020 senilai Rp 94,52 triliun, turun hingga 13,77% dibandingkan dengan 2019 lalu. Meski begitu, dalam rencana kerja anggaran tahunan 2021, total aset diproyeksi bisa kembali meningkat menjadi Rp 97,74 triliun.
Sementara, per Oktober 2020, LPEI mampu menyalurkan pembiayaan senilai Rp 92,36 triliun. Hingga akhir tahun, diproyeksi mampu menyalurkan pembiayaan senilai Rp 93,08 triliun atau turun 5,1% secara tahunan. Sementara tahun depan, diproyeksi akan meningkat menjadi Rp 96,9 triliun.
Mengenai profitabilitas, LPEI mampu membukukan laba bersih hingga Oktober tahun ini Rp 234 miliar. Hingga akhir tahun, laba diproyeksi mampu mencapai Rp 251 miliar, berbanding terbalik dari rugi bersih yang dialami LPEI pada 2019 lalu yang mencapai Rp 4,77 triliun. Tahun depan, LPEI bahkan menargetkan mampu membukukan laba bersih hingga Rp 501 miliar.
LPEI dan Penyertaan Modal Negara
Tahun lalu LPEI mendapatkan tambahan penyertaan modal negara (PMB) dari pemerintah sebesar Rp 2,5 triliun. Sejak dibentuk, LPEI sudah mendapatkan PMN dari pemerintah senilai 18,7 triliun per Oktober 2020.
Dari penerimaan dana tersebut, LPEI telah menyalurkan dalam bentuk penugasan umum senilai Rp 12,5 triliun, sepenuhnya dalam bentuk pembiayaan kepada eksportir. Selain itu, dana PNM ini juga disalurkan senilai Rp 6,2 triliun sebagai penugasan khusus ekspor oleh pemerintah.
"Dari PMN yang diberikan tersebut, telah berhasil di-multiplayer-kan sebesar kurang lebih 5 kali," kata Daniel. Sehingga, total pembiayaan yang disalurkan oleh LPEI sejauh ini mencapai Rp 92 triliun kepada sekitar 491 debitur korporasi, syariah, dan UMKM.
Dari hasil PNM itu pula, LPEI telah menyalurkan total pinjaman senilai Rp 9,4 triliun dan total asuransi senilai Rp 9,3 triliun. LPEI juga memberikan jasa konsultasi kepada 59 eksportir baru dan lebih dari 2.200 UKM berorientasi ekspor binaan.
Tahun depan, LPEI kembali mengusulkan PMN hingga Rp 5 triliun. Modal ini akan digunakan untuk penugasan umum senilai Rp 2,5 triliun dan untuk penugasan khusus senilai Rp 2,5 triliun. Penyaluran fasilitas LPEI ini difokuskan pada sektor dan komoditas yang diproyeksi mengalami perbaikan, serta memiliki dampak besar dalam pemulihan ekonomi nasional (PEN).
"Tujuannya PMN untuk peningkatan kapasitas usaha LPEI di bidang pembiayaan, penjaminan, dan asuransi. Dengan adanya PMN, maka peluang LPEI untuk membantu atau masuk ke dalam program PEN maupun peningkatan ekspor nasional, dapat lebih baik lagi," kata Daniel.
Ia menjelaskan, tahun depan akan ada perbaikan ekspor di beberapa sektor sejalan dengan perbaikan ekonomi dunia. Untuk itu, ada beberapa sektor yang bakal dibiayai, dijamin, dan diasuransikan oleh LPEI pada 2021. LPEI menargetkan mampu menjamah sektor seperti perindustrian, pertambangan, dan pertanian.
Pada sektor perindustrian, LPEI menargetkan mampu memberikan pembiayaan dengan porsi mencapai 30,3% dari kegiatan ekspor di sektor ini. Paling besar, LPEI menargetkan memberikan pembiayaan pada sektor turunan minyak kelapa sawit sebesar 8,1%.
Sementara, dari sektor pertambangan, LPEI ingin memberikan pembiayaan dengan porsi mencapai 8,7% dari kegiatan ekspor. Terbesar, LPEI memberikan pembiayaan kepada sektor turunan yaitu batu bara sebesar 4,6%.