Strategi Sritex Bangkit, Tambah Lini Bisnis sampai PHK 1.500 Karyawan

Lavinda
Oleh Lavinda
2 Juni 2021, 11:13
PT Sri Rejeki Isman Tbk atau lebih dikenal dengan Sritex memperoleh persetujuan dari pemegang saham untuk menambah aktivitas usaha, yakni memproduksi alat pelindung diri (APD) dan masker kain.
Adi Maulana Ibrahim |Katadata
Ilustrasi produksi masker kain.

Dalih Efisiensi, Sritex Pangkas Karyawan

Berdasarkan laporan keuangan 2020 diketahui, Sritex melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap 1.577 karyawan sepanjang tahun lalu.

Jumlah karyawan Sritex sampai 31 Desember 2020 tercatat 17.186, menurun 8,4% dibanding pada 2019 yang mencapai 18.763 karyawan. Komposisi jumlah karyawan meliputi, 17.082 karyawan dari bagian produksi dan 104 karyawan dari bagian non-produksi.

Dalam laporan disebutkan, Sritex mengurangi jumlah karyawan karena efisiensi usia non-produktif, seiring dengan strategi perusahaan untuk melakukan efisiensi kinerja dengan meningkatkan skill karyawan.

Sebelumnya, sebanyak empat perusahaan kompak menggugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) induk bisnis Grup Sritex, termasuk lima anak usaha, hingga pemilik sekaligus petinggi perusahaan.
Gugatan dilayangkan pada Pengadilan Niaga, Pengadilan Negeri Semarang secara beruntun dalam kurun waktu dua bulan terakhir.

Berdasarkan data Pengadilan Negeri Semarang, dua kreditur, PT Swadaya Graha dan PT Indo Bahari Ekspress menggugat PKPU anak usaha Grup Sritex yakni, PT Rayon Utama Makmur.

Selanjutnya pada 19 April 2021, kreditur lain, CV Prima Karya secara langsung menggugat PKPU induk usaha, Sri Rejeki Isman. Tak hanya itu, tiga anak usaha Sritex pun terseret, yakni PT Sinar Pantja Djaja, PT Rayon Utama Makmur, PT Bitratex Industries, PT Primayudha Mandirijaya.

Tak berselang lama, PT Bank QNB Indonesia Tbk menggugat anak usaha Sritex yang lain, PT Senang Kharisma Textil. Hal yang menarik, Bank QNB juga turut menggugat pemilik sekaligus petinggi Sritex, Iwan Setiawan Lukminto dan sang istri, Megawati.

Berdasarkan kronologinya, Sritex sulit memperpanjang pinjaman sindikasi yang telah dijalankan sejak November 2020 dan akhirnya tertunda hingga Maret 2021. Penundaan kembali terjadi pada momen terakhir, yakni pada 19 Maret 2021 yang seharusnya menjadi waktu penandatanganan perpanjangan sindikasi.

Berdasarkan laporan keuangan per Desember 2020, total utang Sritex menembus US$ 1,18 miliar atau setara Rp 17,1 triliun (Kurs RTI 1 US$ = Rp 14.524). Padahal total aset Sritex hanya US$ 1,85 miliar atau setara Rp 26,8 triliun. Akumulasi utang itu menyebabkan arus kas negatif menjadi minus US$ 59,24 juta atau Rp 860,4 miliar. Total utang jangka pendek Sritex mencapai US$ 277,5 juta atau setara Rp 4 triliun.

Dari nilai tersebut, PT Bank HSBC Indonesia memiliki baki kredit paling besar kepada Sritex, yakni mencapai US$ 42,84 juta. Disusul PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk (Bank Jabar) US$ 38,89 juta dan Bank QNB Indonesia US$ 35,44 juta.

Selain itu, Bank Muamalat Indonesia US$ 29,67 juta, MUFG Bank Ltd. US$ 26,61 juta, Standard Chartered Bank US$ 26,24 juta, Taipei Fubon Commercial Bank Co US$ 20 juta, dan Bank of China (Hong Kong) Limited US$ 15,02 juta.

Sisanya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk US$12,16 juta, PT Bank DKI US$ 10,63 juta, PT Bank Central Asia Tbk US$ 7,9 juta, PT Bank Woori Saudara Tbk US$ 5 juta, PT Bank DBS Indonesia US$ 4,42 juta, dan Bank Emirates NBD US$ 2,63 juta.

Ketidakpastian mengenai restrukturisasi utang ini mendorong lembaga pemeringkat PT Fitch Ratings Indonesia terus menurunkan peringkat utang Sritex ke CCC- dari sebelumnya B- pada awal April 2021.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...