Batas Bea Kiriman Diturunkan, Bea Cukai Ungkap Sederet Penyebabnya
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan akan menurunkan ambang batas nilai impor barang kiriman melalui e-commerce dari yang semula dikenakan bea masuk US$ 75 menjadi US$ 3 atau sekitar Rp 42 ribu mulai akhir Januari 2020. Kebijakan ini dilatari oleh sejumlah pertimbangan, seperti untuk melindungi produk dalam negeri karena pengiriman paket berisi produk impor melonjak tajam.
Lewat akun twitter, Ditjen Bea Cukai menyatakan sepanjang tahun ini, terdapat sekitar 49,69 juta paket yang dikirimkan dari luar negeri. Jumlah ini naik signifikan dibanding tahun lalu yang hanya sekitar 19,57 juta paket.
Efeknya, banyak industri dalam negeri yang gulung tikar terutama komoditas tas, sepatu dan tekstil. "Karena itulah pemerintah harus mengambil langkah untuk melindungi industri dalam negeri. Kita tak mau kan Indonesia kebanjiran barang impor?" cuit Bea Cukai dalam akun resmi @beacukaiRI dikutip Kamis (26/12).
(Baca: Impor Barang di Atas Rp 42 Ribu Lewat e-Commerce Bakal Kena Bea Masuk)
Lebih lanjut, Ditjen menggarisbawahi bahwa industri yang terdampak tak hanya Usaha Kecil Menengah (UKM), tapi juga pelaku usaha yang menjalankan usaha sesuai dengan ketentuan. Pemerintah bakal melindungi pelaku usaha tersebut dengan memberikan perlakuan yang adil dalam perpajakan.
Bea Cukai juga menjelaskan alasan mengapa batas minimum pembebasan bea masuk US$ 3. Sebab, kebanyakan barang kiriman selama ini rata-rata bernilai US$ 3.
Dengan aturan baru ini, maka barang kiriman bernilai US$ 3 ke atas akan dikenakan bea masuk 7,5% dari nilai barang.
Selain itu, pemerintah juga menyesuaikan tarif pungutan pajak dalam rangka impor, meliputi bea masuk 7,5% (tetap), PPN 10% (tetap), PPh 0% dari semula 10% bagi pemilik nomor pokok wajib pajak atau NPWP dan 20% tanpa NPWP.
Namun, pemerintah akan memberikan perlakuan khusus untuk tas, tekstil dan sepatu. Hal ini bertujuan agar industri dalam negeri bisa bersaing dengan barang-barang impor.
Bea masuk tas akan dikenakan 15%-2%, sepatu 25%-30%, tekstil 15%-25%. Adapun tarif PPN ketiganya masih samam yaitu 10%, sedangkan PPh bervariasi 7,5% hingga 10%.
(Baca: Perketat Impor, Bea Cukai Bakal Bisa Intip Data E-Commerce)
Untuk meningkatkan akurasi nilai pabean, Bea Cukai akan bekerjasama dengan marketplace untuk melakukan pertukaran data transaksi. "Dengan otomasi pertukaran data, praktik under-invoicing diharapkan akan semakin berkurang," tulis bea cukai.
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyatakan telah mengantongi penerimaan sebesar Rp 28 miliar dari penerapan program anti splitting barang impor yang berlaku sejak Oktober 2018. Splitting merupakan upaya yang dilakukan importir dengan memecah transaksi pembelian barang dari luar negeri agar bebas dari bea masuk.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi mengatakan, sejak Bea Cukai menerapkan program anti splitting, sudah ribuan dokumen atau consigment notes (CN) yang dijaring pihaknya.
Ia merinci, sepanjang 2018 saja, terdapat 72.592 CN yang berhasil dijaring dengan nilai Rp 4 miliar. "Hingga September 2019 terjaring 140.863 CN dengan nilai penerimaan mencapai Rp 28,05 miliar," kata Heru dalam Konferensi Pers di kantornya, Jakarta, Jumat (27/9).
(Baca: Revisi Aturan untuk Perketat Impor Tekstil Ditargetkan Rampung Besok)
Program anti splitting diatur dalam PMK-112/PMK.04/2018. Heru menjelaskan, sebagian besar barang yang terjaring melalui program anti splitting yakni barang dari kulit, arloji, sepatu, aksesoris pakaian, part elektronik, dan telepon genggam.
"Terutama telepon genggam yang belum keluar di Indonesia," ucap dia.
Program anti splitting merupakan sistem komputer pelayanan yang akan mengenali secara otomatis nama-nama penerima barang. Terutama yang mencoba memanfaatkan celah pembebasan bea masuk dan pajak impor.
Menurut Heru, langkah ini dilakukan pihaknya agar para pedagang bersaing sehat dalam bisnisnya. Pasalnya, e-commerce memiliki peluang yang besar untuk melakukan transaksi ekspor-impor.
"Kita harus lindungi retail domestik dalam hal ini. Kasihan retail yang sudah bayar pajak dan patuh kalau kita biarkan terus menerus," katanya.