Janji Pangkas Tarif Pajak, Jokowi dan Prabowo Diminta Hati-hati

Martha Ruth Thertina
23 Maret 2019, 12:21
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) saling memberi salam seusai debat capres 2019 disaksikan moderator di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Debat itu mengangkat tema energi dan pangan, s
ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kedua kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) saling memberi salam seusai debat capres 2019 disaksikan moderator di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019). Debat itu mengangkat tema energi dan pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta infrastruktur.

Namun, penurunan tetap harus dilakukan secara hati-hati dengan memperhitungkan dampak penurunan penerimaan dalam jangka pendek. Secara umum, tarif pajak yang kompetitif dapat menjadi perangsang bagi investor untuk menginvestasikan dananya di Indonesia. Tapi, belum terdapat bukti empirik yang kuat bahwa penurunan tarif PPh berkorelasi positif dengan kenaikan rasio pajak (tax ratio).

Indonesia sendiri pernah menurunkan tarif pajak tahun 2000 dan 2008, dan tidak diikuti peningkatan rasio pajak secara signifikan,” kata dia.

Menurut pendapat dia, tarif PPh badan tak dapat diturunkan secara ekstrem. Ia menyarankan penurunan dari 25% menjadi 22% untuk waktu dua tahun, lalu dievaluasi tren dan pengaruhnya ke penerimaan dan investasi. “Jika positif maka dapat diturunkan selanjutnya ke 18%,” ujarnya.  

Namun, yang perlu dipahami paslon maupun masyarakat adalah penurunan tarif harus dilakukan dengan revisi Undang-Undang Pajak Penghasilan. Artinya, prosesnya melalui pembahasan antara pemerintah dan DPR. Adapun saat ini, pemerintah dan DPR sedang membahas revisi Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) yang harus diselesaikan terlebih dahulu.

Sementara itu, untuk tarif PPh orang Pribadi, ia menilai tidak perlu diturunkan karena tarif PPh di Indonesia sudah cukup rendah dibandingkan negara lain. Yang perlu dilakukan adalah memperbaiki lapisan penghasilan yang dikenai tarif pajak progresif dan menambah lapisan tarif. Tujuannya,  supaya lebih adil dan mencerminkan prinsip “yang mampu membayar lebih besar”. 

Adapun untuk melindungi kelompok menengah-bawah, ia menilai batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sudah cukup tinggi, yakni Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta/tahun. Di ASEAN, jika besaran PTKP dibandingkan dengan pendapatan per kapita, maka diperoleh persentase Vietnam 35,7%, Indonesia 30,8%, Thailand 23,8%, Singapura 17,1%, dan Malaysia 3,8%.

“Jadi kita sudah termasuk tertinggi, hanya kalah dibandingkan Vietnam,” ujarnya. Yang menurut dia perlu di perbaiki adalah struktur PTKP agar lebih adil dan tepat sasaran, misalnya alokasi untuk kaum difabel, perempuan pekerja, pekerja usia non-produktif, dan lainnya.

Adapun sejauh ini, ia menilai pemerintah melalui kementerian keuangan telah melakukan upaya reformasi perpajakan dan telah menorehkan beberapa perbaikan, baik regulasi maupun administrasi. Meskipin peningkatan-peningkatan tetap harus dilakukan.

Ia pun menyinggung soal beberapa kebijakan perpajakan yang meringankan dalam beberapa tahun ini, seperti penghapusan sanksi administrasi melalui Peraturan Menteri Keuangan PMK-91/ 2015, penurunan tarif revaluasi aktiva tetap dari 10% menjadi 3% melalui PMK-191/2015, penghapusan pajak berganda Dana Investasi Real Estate (DIRE) melalui PMK-200/PMK.03/2015.

Kemudian, amnesti pajak melalui Undang-Undang (UU) 11/2016, PPh Final UMKM dari 1% menjadi 0,5% melalui Peraturan Pemerintah (PP) 23/2018), percepatan restitusi pajak (PMK-39/2018), kebijakan pemeriksaan berbasis risiko (SE-15/2018). Insentif pajak berupa tax holiday yang diperluas dan diperlonggar (PMK-35/2018 dan PMK-150/2018).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...