Mengukur Keampuhan Ekonomi Setelah BI Menaikkan Bunga Acuan
Kejatuhan nilai tukar rupiah dalam dua pekan terakhir menjadi salah satu pertimbangan bank sentral menaikkan suku bunga acuan. Begitu juga dengan rencana bank sentral Amerika Serikat untuk menaikkan kembali Fed Fund Rate. Kamis kemarin, rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia pun menetapkan BI 7 Days Repo Rate naik 25 basis poin (bps) ke level 4,50 persen. Keputusan ini menuai respons beragam, termasuk dampak pada pertumbuhan ekonomi
Ekonom Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menyatakan ada sejumlah efek berganda dari peningkatan suku bunga acuan tersebut, terlebih bila bank sentral kembali menaikkannya dalam tahun ini. Misalnya, pertumbuhan kredit perbankan akan tertekan di bawah 9 persen. (Baca: Hingga Pertengahan Mei 2018, Kredit Perbankan Tumbuh 8,8%).
Ramalan laju kredit satu digit ini bahkan berlangsung hingga tahun depan. Tak ayal, target pemerintah dan perbankan agar kredit makin bergairah hingga di atas 12 persen sulit tercapai. Sebab, kenaikan suku bunga acuan akan ditransmisikan ke bunga kredit.
Menurut Bhima, pelaku usaha dalam kondisi tersebut akan lebih menahan pinjaman baru karena biaya dana (cost of fund) relatif mahal. “Mungkin tetap pinjam tapi sekadar kredit modal kerja jangka pendek bukan kredit investasi,” ujarnya.
Efek lanjutan dari minimnya pencairan kredit ini akan berpengaruh pada laju ekonomi seiring tak kencangnya industri dalam berekspansi. Karena itu, Bima memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan kontraktif dengan laju 5,1 – 5,2 persen. “Sulit mencapai 5,4 persen,” ujar Bhima. Angka 5,4 persen merupakan target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. (Baca: Kerek Bunga Acuan, BI Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Tetap 5,1-5,5%).
Sedikit berbeda, Ekonom Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Sugandi mengatakan pertumbuhan ekonomi dua tahun ke depan tidak terlalu terganggu oleh kenaikan suku bunga acuan. Ekonomi tahun ini diramal melaju 5,2 – 5,3 persen, sedikit lebih tinggi daripada 2017.
Dari sisi moneter, hal ini didukung oleh kebijakan pelonggaran moneter BI yang cukup banyak. “Bukan hanya via instrumen suku bunga tapi juga Giro Wajib Minimum (GWM) dan Financing to Value (FTV),” kata Eric. (Baca: BI Perlonggar Giro Wajib Minimum, Bank Bisa Perbesar Keuntungan).
Kebijakan tersebut sudah memfasilitasi sisi suplai kredit. Hanya saja, dari sisi permintaan memang belum tumbuh kuat karena perusahaan belum agresif mengambil pinjaman. Jadi, Eric menyimpulkan, kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin pada tahun ini tidak memiliki dampak banyak.
Dalam hitungan Eric, idealnya, BI 7 Days Repo Rate 1 – 1,5 persen dari laju inflasi tahunan. Karenanya, dia memperkirakan bank sentral akan kembali mengerek suku bunga acuan sebanyak 25 basis poin ke 4,75 persen pada rapat dewan gubernur (RDG) bulan depan. Level tersebut diperkirakan akan bertahan sampai akhir tahun ini. Hal tersebut juga untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika, Fed Fund Rate, lebih dari tiga kali sepanjang 2018.
Tahun depan, Eric pun memprediksi suku bunga masih tetap 4,75 persen. Walaupun ada kemungkinan kembali naik bila inflasi lebih tinggi dari tahun ini, yang dalam prediksinya mencapai 4,2 persen pada 2018 dan 4 persen pada 2019. (Baca juga: Ketidakpastian Global Meningkat, BI Kerek Bunga Acuan 0,25% Jadi 4,5%).
Terkait dengan pertumbuhan kredit, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat sepanjang Januari hingga pertengahan Mei 2018 (year to date), kredit perbankan mencapai 8,8 persen. Pertumbuhan tersebut menandakan industri bank sudah beralih dari masa konsolidasi.
Menurut Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana, beralihnya industri perbankan dari masa konsolidasi ini salah satunya disebabkan naiknya suku bunga BI. “Sehingga mereka bisa tumbuh dengan baik,” ujar Heru di Jakarta, Jumat (18/5).
Sebelumnya, Bank Indonesia memprediksi pertumbuhan ekonomi 2018 tetap berada pada rentang 5,1 – 5,5 persen meski bunga acuan naik. Sejauh ini, BI menilai pertumbuhan ekonomi cukup baik. Pada kuartal pertama 2018, ekonomi tumbuh 5,06 persen secara tahunan, lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu yaitu 5,01 persen. Penopangnya yaitu investasi yang naik dan konsumsi rumah tangga yang tetap kuat.
Investasi tumbuh 7,95 persen, tertinggi dalam lima tahun terakhir. “Pertumbuhan investasi terutama didorong investasi nonbangunan yang membaik untuk mendukung kebutuhan proses produksi yang meningkat,” demikian pernyata resmi BI. Investasi bangunan juga masih tumbuh tinggi seiring dengan proyek infrastruktur pemerintah.
Di sisi lain, konsumsi swasta tetap kuat terutama didorong oleh meningkatnya belanja terkait penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Kuatnya permintaan domestik ini kemudian mendorong pertumbuhan impor yang cukup tinggi, khususnya impor barang modal dan bahan baku.
(Baca juga: Likuiditas Banyak, OJK: Bunga Bank Tidak Otomatis Terkerek Bunga Acuan)
Sementara itu, ekspor tetap tumbuh meskipun melambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya. Bank sentral mencatat, secara spasial, perbaikan kinerja ekonomi terjadi di wilayah Jawa, Bali, Maluku, dan Papua.