Darmin Nilai Booming Komoditas Sejak 2000 Tak Tekan Ketimpangan
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pertumbuhan tinggi ekonomi sejak tahun 2000 tidak dinikmati sebagian besar penduduk Indonesia. Hal itu tampak dari angka ketimpangan (gini ratio) yang menanjak. Faktor penyebabnya, motor penggerak ekonomi adalah industri berbasis Sumber Daya Alam (SDA), seperti pertambangan dan perkebunan yang tak menyerap banyak tenaga kerja.
Maka itu, ia menegaskan bahwa pemerintah perlu melanjutkan reformasi struktural untuk mendorong industri manufaktur yang padat karya. Adapun, pada 2016 ketimpangan tercatat menurun terbantu oleh pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan pemerintah sejak 2015.
“Kok 2016 gini ratio menurun meski dalam situasi harga komoditas (SDA) belum naik dan cenderung turun? Dugaan saya, itu adalah karena pembangunan infrastruktur yang menyebar di berbagai sektor dan wilayah meski baru tahap pembangunan,” ujar Darmin saat menghadiri Laporan Perekonomian Indonesia 2016 di Gedung Bank Indonesia (BI), Jakarta, Kamis (27/4). (Baca juga: Alami Ketimpangan, Sulteng Usul Kakao Masuk Program Strategis)
Menurut dia, pembangunan infrastruktur yang meningkat signifikan tersebut berpengaruh pada pendapatan masyarakat kelas menengah dan kecil. Alasannya, pembangunan infrastruktur ini menyerap tenaga kerja. Setelah infrastruktur terbangun, pendapatan 20 persen masyarakat berpenghasilan tinggi ikutan terdongkrak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), gini ratio tercatat meningkat mulai 2002 hingga 2014 memang terus meningkat. Pada 2002, gini ratio sebesar 0,34 persen, lalu meningkat menjadi 0,43 persen di 2012 dan bertahan di level itu hingga Maret 2015. Rasionya baru menurun pada September 2015 menjadi 0,4 persen, dan menurun lagi menjadi 0,39 persen di September 2016. (Baca juga: Rilis Kebijakan Pemerataan Ekonomi, Jokowi Bagi-Bagi Tanah di Boyolali)
Ke depan, Darmin memaparkan, ada beberapa kebijakan yang akan diteruskan untuk melanjutkan penurunan gini ratio. Salah satu kebijakan yang dimaksud yaitu, pembangunan infrastruktur dengan berbagai macam skema pembiayaan. Untuk itu, diperlukan desain pembiayaan yang jelas sehingga bisa melibatkan swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). (Baca juga: Belanja Infrastruktur Sokong Ekonomi ASEAN Menguat Lebih Cepat)
Selain itu, perbaikan iklim usaha juga perlu dilanjutkan, terutama untuk memperbaiki peringkat kemudahan berbisnis (Ease of Doing Bussiness/EODB) di Indonesia. “Kalau EODB masih diperingkat 96, kami mau fight (berjuang) terus dan kami siap tahun ini. Saya punya perkiraan di akhir tahun, kami sedang fight bagaimana bisa melewati (peringkat) Vietnam,” tutur Darmin.