Defisit Anggaran Dipatok Maksimal 2,2 Persen
KATADATA ? Pemerintah memberi toleransi defisit anggaran 2015 pada rentang 1,9 persen-2,2 persen. Tambahan dana untuk menutup defisit akan diambil dari pinjaman multilateral dan bilateral.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, perkiraan defisit tersebut berdasarkan asumsi jika penyerapan anggaran hanya 92 persen dari rencana target APBN-P 2015 sebesar Rp 1.984 triliun. Sementara penerimaan pajak ternyata kurang atau shortfall Rp 120 triliun, maka defisit bisa 2,2 persen.
?Kenaikan defisit ini masih akan dan manageable (terkelola dengan baik),? kata Bambang kepada Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (27/5).
Pemerintah, lanjut dia, akan membiayai defisit itu dari pinjaman lembaga multilateral, seperti Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia (ADB). Pemerintah akan menghindari penerbitan surat utang negara (SUN) karena ada risiko pelemahan nilai tukar rupiah. Kemudian, pemerintah akan memanfaatkan sisa anggaran lebih tahun lalu untuk membiayai defisit ini.
?Kami akan fokus pada sumber pembiayaan yang aman dan rendah, yaitu meminimalkan SUN rupiah karena itu paling berisiko dari tingkat bunga atau sudden reversal,? ujar dia.
Tahun ini, pemerintah mengajukan penambahan pinjaman multilateral ke Bank Dunia, ADB, Badan Pembangunan Prancis (Agence Française de Développement /AFD), dan Bank Pembangunan Jerman (Kreditanstalt fur Wiederaufbau/KFW) sebesar US$ 1,1 milliar hingga US$ 1,2 milliar. Dari nilai tersebut, kata dia, sudah ada komitmen sebesar US$ 600 juta.
Dari sisi fiskal, ekonom DBS Group Research Gundy Cahyadi menilai, target pajak dalam APBN-P 2015 yang naik hingga 32 persen terlalu optimistis. Padahal secara historis tiga tahun terakhir, rata-rata kenaikan penerimaan pajak hanya sebesar 10 persen. ?Tahun ini tambah berat, karena ekonomi sedang melambat,? kata dia.
Jika tidak tercapai, program-program yang telah direncanakan pemerintah dikhawatirkan tidak terealisasi. Alhasil, ini memberikan sentimen negatif kepada investor yang bisa menarik dananya dari Indonesia.
Menurut Gundy, ada dua pilihan yang dapat dilakukan pemerintah. Pertama, jika ingin mempertahankan defisit tetap di bawah 2 persen, maka pemerintah harus mengurangi belanja. Pilihan ini pun, kata dia, berisiko, karena yang paling potensial untuk dikurangi adalah belanja modal pemerintah.
?Kalau ini yang dilakukan artinya proyek pembangunan ada yang ditunda,? kata dia.
Kedua, adalah dengan menambah utang luar negeri. Pilihan ini cukup realistis karena secara rasio, utang pemerintah Indonesia masih cukup rendah, yakni 25 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).